October 28, 2012

2 hati

Kepada rindu yang tergantung di langit tak bertepi, mari bersahabat dan peluk aku erat. Jadikan senja ini lebih berarti.

Jangan enggan menghampiri, buang angkuh dan rengkuh rindu. Karena kita adalah dua sisi koin usang. Ditakdirkan berpasangan.

Kepada cinta yang kita puja. Kepada hati yang beresonansi. Dan rindu yang menyelinap di sela jari. Peluk aku, sampai pagi.

Kepada gairah yang meletup. Kepada hasrat yang meredup. Dan sebaris doa yang tertangkup. Adakah hati yang terketuk?

Jika kangen adalah danau yang tenang, apakah rindu adalah ombak yang menantang?

Jika cinta adalah api yang membara, apakah kasih adalah hangat yang meraja?

Jika dendam adalah bintang yang memudar, apakah benci adalah bisa yang menular?

Jika “selamanya” adalah utopia, mengapa kita mencintai dusta?

Jika “aku mencintaimu” tak lagi berarti, mengapa kita rela menunggu sampai buku jari memutih?

Jika harapan adalah riak yang terus bergetar, aku ingin menangkap gaungnya walau samar. Sampai hening memekakkan. Sampai jeda tak tertahankan. Sampai aksara kehilangan arti. Sampai hampa menemukan getir di lidah.

Ketika paradoks berevolusi, dan ironi adalah produk gagal masa kini. Lalu, kepada siapa menitipkan nurani?

Ketika senja dan malam bergulat dalam diam, pedang jingga cakrawala mulai menghunjam tajam. Menelikung dalam kegelapan. Hitam.

Kita bergulat dengan kata, jari saling menuding dan hati berdarah. Meleleh melalui ego yang mendidih. Berhenti di sudut jiwa yang perih. Lalu kita saling membelakangi. Meninggikan ego yang tak lagi berarti. Setelah hampa menyapa, semua sudah sia-sia. Percuma.

Mereka membicarakan tragedi. Merangkai kalimat berbunga yang terbungkus agitasi. Membungkus cinta dengan bingkai patah. Percuma. Tinggal getir yang terkecap di lidah. Maaf yang sia-sia. Cinta yang terhempas karena nafsu yang menggelora. Satu kata tersisa: Percuma.

Pertempuran dua hati. Mencoba mengikat dan dan saling memiliki. Mereka lupa konsep paling luhur. Cinta tak akan pernah hancur.

Mungkin kita tercipta untuk melengkapi. Mungkin konsep sejati hanya ilusi. Mungkin hujan adalah cinta langit kepada Bumi. Mungkin.

Sudahlah. Mungkin dua hati yang berdentum tak butuh harmoni. Kepastian itu membosankan! Kesempurnaan adalah jurang pemisah. Sudahlah.

Kau. Aku. Kita?

Kau, sang penyembur semangat sepanas api abadi. Mengembalikan jejak kehidupan di raga yang hampir mati. 
Kau, tiga aksara yang mampu menampung semesta. Satu sosok tak sempurna yang begitu sempurna. 
Kau, pelangi hitam putih. Yang mengalahkan keindahan prisma matahari.
Kau, paradoks Epimenides. Yang mengalahkan Sisifus, sang terhukum Zeus. Tak terpecahkan. Sampai akhir jaman. 
Kau, dengan lengkung senyummu yang menawarkan candu. Aku, berdiri di tepian dengan jari bergetar, mencoba menggapai masa lalu.
Kau, dengan aliran airmata yang membuat untaian kata tak lagi bermakna. Aku, membeku. Terpaku.
Kau, rangkaian nada yang berdenting mengiring harmoni. Aku, terdiam mengurai dan menyesap setetes rindu.
Kau, imajinasi tak terjangkau logika. Aku, mencoba menyelami celah dibalik kamar usang bernama: rasa.
Kau. Ketika rumus fisika majal, matematika menemui ajal, kimia tak lagi berguna, dan biologi hanya kata tanpa arti. Kau, tak terdefinisi.

October 27, 2012

Ini Bukan Rindu

Ini bukan rindu. Ini rintik yang menyebut namamu. Bahkan dalam tidur, bahkan dalam mimpi. Bahkan dalam bilur, dan luka di hati.

Ini bukan rindu. Ini adalah senyum yang mengembang. Rasa yang terkekang. Luka yang meradang, dan jarak yang menghadang.

Ini bukan rindu. Ini adalah jejak-jejak cinta. Menapak pelan dalam hening. Membulat, membuat dan membekas.

Ini bukan rindu. Aku hanya memeluk imajinasi. Walau perih. Meski tertatih. Berharap kau di sini. Sampai pagi.

Ini bukan rindu. Aku hanya bercengkerama dengan angin. Dengan angan. Dengan bayang-bayang. Dengan kamu. Walau semu.

Ini bukan rindu. Aku hanya memilah, memilih, dan memaki kenangan. Mengapa ia harus mengetuk pintu saat aku tak ingin tamu?

Ini bukan rindu. Ini hanya hati yang bermasalah dengan hati. Mencoba berhati-hati namun logika kalah di jurang hati.

Ini bukan rindu. Hanya racun yang mencandu. Atas degup jantung. Denyut cinta. Menjembatani jarak. Berteriak sampai serak.

Ini bukan rindu. Ini hanya sampah. Residu rasa. Menggumpal. Menggelegak. Keping-keping yang terserak. Airmata yang tersibak.

Ini bukan rindu. Hanya pertarungan ego. Yang kemudian lelah. Takluk dan kalah. Bertekuk lutut pada senja. Kembali mengais asa.

Ini bukan rindu. Hanya pujangga angkuh. Yang mencoba menafikan rasa. Menepis sulur yang kau ulur. Sampai kelu dan tertidur.

Ini bukan rindu. Hanya sisa wangimu. Yang tak mau beranjak pergi. Meski sudah berulang aku cuci. Sampai hati meranggas perih.

Ini bukan rindu. Hanya bohong yang terus bergaung. Lalu malaikat tertawa. Aku bersimpuh. Ini. Memang. Rindu.



October 26, 2012

To: __________________ *anonym*
Cc:

Subject: Along Came Petrichor

Selamat sore, pecinta hujanku.
Apa kabar mendung di sana? Sudahkah gelapnya awan perlahan terbias pancaran matahari? Masih tersisa kah basah di bumi selepas diterpa rintik air jatuh tak terhitung dari langit? Bagaimana dengan manisnya wangi tanah dan dedaunan basah, sempat tercium kah olehmu?

Pecinta hujanku, apa kabarmu?
Di sini, di kotaku, saat ini, saat kutuliskan ini, hujan masih saja turun. Hujan yang seperti biasa, menjadi inspirasi terbesar ku untuk mengunggah emosi dalam bentuk verbal. Hujan dan segala momen sentimental yang ia bawa dalam rupa kenangan dan harapan, sejak dulu, sedang dan akan datang. Hujan yang tak pernah gagal menggali memori, tentang kita, tentang cinta, tentang dua.

Pecinta hujanku, masih ingat “kita”?
Dulu, kita sempat berpikir bahwa suatu hari akan ada “kita”. Dulu kita sempat berharap bahwa nanti di masa depan, “kita” bukan lagi sekedar harapan. Dulu, aku menyelipkan “kita” di setiap khayalku. Tapi, seperti biasa, khayalan hanya berakhir di batas semu dan nyata. Mungkin aku kurang berusaha terlalu keras, atau mungkin juga kamu yang tak sanggup mencoba ikhlas. Kita perlahan melupakan “kita”.

Pecinta hujanku, masih ingat “cinta”?
Obrolan-obrolan dalam pesan teks tiap malam yang membuat jari-jari kita kaku, mengawali kedekatan kau dan aku. Ingat itu? Berbagi cerita di hari yang kita lewati melalui telepon genggam hampir setiap malam yang membuat kita merasakan seperti apa insomnia, membuka pintu hati masing-masing kita. Ingat kah kamu? Cinta yang masih malu-malu mengintip dari balik pintu hati. Cinta, rasa yang begitu istimewa, hingga luapan emosi saat kita saling menangisi dan menyakiti satu sama lain pun, itu cinta. Cinta yang hadir tak terduga hanya karena kita berada di tempat yang sama, di waktu yang tepat, berdiri bersisian dengan separuh hati masing-masing. Aku memang tak terlalu bisa menjelaskan cinta lewat deretan aksara. Aku takut cinta akan hilang makna jika kutuangkan lewat puitisnya kata. Yang kutahu, setiap aku melihatmu, memandangmu, atau memikirkanmu, aku merasakan cinta. Cinta yang sederhana saja, yang tak pernah butuh alasan, karena selama yang kurasa nyata, cinta lah yang menjadi alasanku menantang semesta.

Pecinta hujanku, masih ingat “dua”?
Kamu pernah berkata, kita adalah dua. Dua hati, dua jiwa, dua raga. Dua hati, yang tak pernah bisa diatur. Hatimu yang menolak saat aku datang menawarkan hati.  Hatimu yang kemudian kehilangan saat aku terluka dan melangkah pergi membawa serpihan hati. Hatimu yang akhirnya menyadari, bahwa pada hatiku lah kamu terlambat tertambat. Dua jiwa, yang putus asa. Kamu dan aku, jiwa-jiwa yang sempat berharap menemukan belahannya pada diri masing-masing kita. Hanya saja, jiwamu dan jiwaku, mungkin berbeda zona waktu. Saat jiwaku menemukanmu, jiwamu sedang entah dimana. Saat jiwamu menemuiku, jiwaku tak lagi di tempat semula. Dua raga, kamu dan aku. Kita adalah dua orang yang sama-sama saling tidak percaya diri, namun mencoba untuk saling meyakini satu sama lain. Kita, sepasang raga yang lemah, namun cukup kuat untuk percaya, bahwa ketidakbersamaan pun layak dikenang.

Pecinta hujanku, masih kah kau mengenangku?
Mengenang tiap langkah yang kita jalani berdua menuju asa yang ternyata bahkan tak ada. Kenangan yang mungkin akan selalu tersimpan dalam ingatan karena kita terlalu mencoba melupakan. Kenangan yang diawali dengan perkenalan sederhana, lalu jatuh cinta, hanya untuk berbesar hati dan berkompromi dengan situasi, bahwa pada akhirnya kita tidak bisa bersama.

Pecinta hujanku, masih sama kah rasamu?
Meski apa yang kau rasa sudah berbeda, aku dan cintaku tak pernah benar-benar pergi. Aku tak perlu merasa harus berhenti mencintai. Aku hanya perlu belajar merasa terbiasa mengenang sisa cinta, rasa yang hanya sekadar “kapan”, bukan “jika”.

Pecinta hujanku, maaf kalau aku tak pernah mengucap maaf. Sekadar maaf tak akan pernah cukup membuat penyesalan datang tepat waktu. Meski sesal tak datang terlambat, kepedihan yang dibawa seiring hadirnya akan tetap sama. Mungkin suatu hari, saat kita benar-benar tak saling bertegur sapa lagi, kau akan percaya, bahwa separuh hatimu akan tetap ada di tempatnya, di paruh hatiku, tanpa perlu kuucap maaf. Aku tidak pernah salah, Sayang. Aku mencintaimu, tanpa salah.

Pecinta hujanku, ingat hatiku saat gerimis, kenang jiwaku di hujan badai, temui ragaku di manisnya aroma kala dan selepas hujan.

Pecinta hujanku, bila suatu hari kamu merindukanku, cari aku di antara janji yang tidak sempat kutepati, ada aku di sana.

Pecinta hujanku, jangan pernah lelah percaya pada dustaku. Hari ini aku berhenti mencintaimu.


October 26
― your petrichor’s addict

Flickr