Aku memandang ke luar jendela. Ada
pemandangan senja berupa langit jingga dengan semburat ungu dan pendar
kuning sinar matahari, begitu indah. Mobil-mobil dan truk besar lalu
lalang di arah sebaliknya. Di luar cuaca cerah, di hatiku cuaca mendung,
langit di dalamnya kelabu. Potongan-potongan kecil kenangan pahit
tersusun menjadi film yang diputar dalam ingatan. Sekalipun aku
mengingat kenangan manis, tetap saja rasanya hambar.
*
Pagi yang cerah di hari Minggu itu, aku sengaja menyiapkan kejutan kecil untuk kekasihku,
Emil. Aku akan datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,
membawakan makanan kesukaannya bikinanku sendiri dan makan siang bersama merayakan
anniversary kami yang ke-2. Aku sengaja pergi lebih awal dari rumahku
yang terletak di wilayah Mega Kuningan menuju rumahnya di wilayah
Setiabudi. Rupanya Tuhan berbaik hati, jalanan tidak semacet biasanya
pada saat menjelang jam makan siang, 10 menit dan aku sudah tiba di
depan pintu masuk perumahan tempat kekasihku tinggal. Tepat di saat aku
hampir tiba di rumahnya dan hendak memarkirkan mobilku, aku melihat kekasihku,
buru-buru kurendahkan kepalaku supaya tidak terlihat olehnya. Aku
mengintip dari balik jendela mobilku, dia memang tidak melihat ke arah mobilku yang terletak sekitar 15meter dari rumahnya, dia naik mobil Grand Livina berwarna silver yang ada di depan mobil yang kunaiki. Taksi itu pergi meninggalkan halaman rumahnya.
“Mau kemana dia? Biasanya kalau hari Minggu dia dirumah saja untuk beristirahat atau sekedar refreshing sambil nonton TV dirumahnya.” pikirku dalam hati.
Lalu aku memutuskan untuk mengikutinya, kemudian aku mengikuti taksi yang menjemput kekasihku pergi. Hendak kemana dia? Pergi dengan siapa? Mengapa dia
tidak mengabari aku bahwa dia akan pergi di hari ini? Aku coba
menenangkan diriku sendiri, perasaanku tidak enak. Bukan karena kejutan
kecil ini gagal, tapi sepertinya akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
Taksi itu masuk ke apartemen tempat sahabatku, Della, yang tinggal disana di daerah
Casablanca-Kuningan. Aku memutuskan untuk diam dulu selama 15 menit didalam mobil , supaya kekasihkuku tidak memergoki aku sedang mengikutinya.
Setelah 15 menit berlalu, segera aku masuk ke dalam apartemen. BBM yang kukirimkan tidak dia baca, kutelepon ia ketika aku
sudah berada tepat di depan pintu kamarnya. Tidak ada respon. Kuhela
nafas, entah apa yang akan kutemukan nanti di dalam, mudah-mudahan bukan
sesuatu yang buruk. Aku coba menepis pikiran-pikiran negatifku. Aku
mengetuk pintu. Pintu masih belum dibuka. Setelah ketukan ke-10, pintu
dibuka, kepala tunanganku mengintip ke luar
“Rea?! Kamu ngapain di sini?!” tanya Emil. Wajahnya tercengang melihatku.
Aku pun tak kalah tercengang melihat Emil berada di rumah sahabatku tanpa sepengetahuanku.
Reflek, aku menerobos pintu dan masuk. Di ruang tamunya, Della disana membelakangiku. Lantas aku pun mejunu ke arah Della.
“Re, tunggu!” Emil mencengkeram tangan kiriku dari belakang. Menahan langkahku.
“Apaan sih, apa yang kamu lakukan disini dengannya?” tunjukku ke arah Della. Kuhempaskan cengkeraman tangan Emil.
Emil pasrah. Ia duduk di sofa di ruang tv, menunduk seraya memegangi
kepala dengan kedua tangannya. Aku bergegas menuju tempat Della duduk.
“Kamu ngapain disini berduaan dengan pacar saya?!!” sentakku, namun masih menahan diri dari emosi dan amarah.
Emil menuju ke arahku. “Re, kamu jangan salah paham dulu..”
“Please, Mil, let me know from your admission, who the hell she is? How dare she, here with my darling!” teriakku.
“Rea, this is just missunderstanding” ujar Della, perempuan-yang-berdua-duaan-dengan-pacar-orang.
She’s a bitch, indeed! How come she act like nothing happened? rutukku dalam hati.
“She’s right, Re! I don't do anything with her… i'm not love her anyway.. i still love you..” ujar Emil seraya menggenggam kedua tanganku.
“Don’t talk about, Love, Emil! You two here without asked me?
Don’t you get any fun while you with me? I did the same way like she
did to you, i treat you like a king for two years, i
gave you my all but now.. you just told me that you with somebody
else for fun? how could you doing this to me, Emil?!!!” Aku mulai
terisak. Sekuat tenaga aku mencoba menahan air mataku supaya ia tidak
keluar, menahan amarahku agar aku tidak bertindak di luar nalar.
“If you really love me, you will never ever here with her without my permission! You telling me the bitter truth than did a sweetest lie, Emil! Dua tahun, Emil! Dua tahun kita bareng dan kamu.. Merusak semua yang
kita bangun bersama! Kepercayaan aku, impian kita.. Ini yang ke berapa
kali, Emil?” tanyaku, sembari terisak.
“………” Emil terdiam, ia memalingkan wajahnya dariku dan menatap ke
luar jendela. Aku tahu, Emil tidak suka melihat aku menangis, terlebih
lagi aku menangis karena dia. Dia pernah bilang begitu, ketika kami
berantem hebat dulu.
“Mil..
Just don’t give me another sweetest lie, please..”
“
It’s been.. It’s been, twice, Rea..” Emil menjawab dengan suara lirih.
“
Oh my Lord, Emil, you cheated on me twice for these 2 years and i just found out about it now!?
Tega kamu, Emil.” Kepalaku mulai pening, tubuhku terasa panas. Ya, hal
itu kerap kali terjadi saat aku sedang dalam emosi yang tidak stabil,
amarah yang begitu besar.
“I’m sorry, Rea.. i mean it! Aku cuma bosan, tertekan dengan persiapan pertunangan kita yang tinggal beberapa bulan lagi.
Please, Rea, forgive me! Give me a chance and i will dissapoint you no more! Would you?” Emil
berlutut seraya memegangi kedua tanganku. Wajahnya mengiba, entahlah
air mata yang ia keluarkan itu bagian dari tipuan atau memang benar apa
yang sedang ia rasakan.
“Kenapa kamu nggak bilang dan jujur dari awal tentang apa yang kamu rasakan?
It’s too late, Emil. I can’t put my trust on you anymore. My hope in this relationship is broke..”
Aku bahkan tak mampu menatap mata Emil, aku takut akan luluh dan
memaafkannya kembali sementara hati ini sudah terlanjur ia sakiti. Aku
melepaskan genggaman tangan Emil dan melangkah ke arah luar ruangan
apartemen Della.
“Rea, don’t leave. Don’t tell me that it’s over. Please, Rea, please..” Emil bangkit dan menghampiriku.
“It’s over and done, Emil. You guys, congratulations for ruining my life. Eat that bitch, Emil, have fun!”
Aku membanting pintu apartemen Della dengan kencang. Della diam tanpa
sepatah katapun menyaksikan drama kami tadi. Aku pun tak berniat ingin
memperpanjang urusan dengan dia, bagiku sudah cukup mimpi buruk ini.
Tidak usah diperpanjang lagi.
It’s over and done.. but the heartache lives on inside..(Emotion-Destiny’s Child)
*
“Mbak, mau?” pria yang duduk disebelahku menawarkan keripik Lays rasa rumput laut.
Aku menggeleng. “Nggak, makasih mas!” ujarku.
Lamunanku terhenti. Rasa sesak itu tak pernah benar-benar pergi
sekalipun hari-hari telah lama berganti. Aku sudah puas menangis dan
mengurung diri berhari-hari. Bahkan setelah hari itu, Emil tak pernah
lagi menghubungiku, atau bertemu dengan keluargaku. Keluargaku? Tentu
saja kecewa setelah mendengarku bercerita tentang hubungan kami. Papa
bahkan melarangku untuk bertemu lagi dengannya, ia mengharamkan nama
Emil di rumah kami. Rasanya berat bagiku untuk berdamai dengan kenyataan
yang terlalu menyakitkan ini. Pertunangan yang tinggal 3 bulan lagi
kandas. Impian masa depan yang kurancang dengan pria yang kucintai,
hancur lebur. Setelah masa-masa galau dan patah hati yang kulalui cukup
lama, akhirnya aku berhasil menguatkan diri untuk bercerita dengan
orang-orang terdekat, terbiasa dengan reaksi mereka setelah mendengar
ceritaku, dan memulai beraktivitas lagi. Walaupun, aku belum benar-benar
bisa melupakan Emil, tetapi setidaknya aku bisa perlahan-lahan mulai
menerima kenyataan bahwa kami tidak bisa bersama lagi.
“Jogja aja, Re..” ujar Indi.
“Bali deh, bareng sama gue yuk, September berangkat!” ujar Igo.
Malam itu, sepulang kerja, aku dan 2 sahabatku-di-jaman-kuliah
berkumpul di Starbucks dekat kantorku. Perusahaan tempat kami bekerja
berada dalam satu wilayah. Kami sedang berdiskusi mengenai kota tujuan
untuk aku berlibur minggu depan.
“Go, September mah kelamaan, gue pengennya minggu depan udah sweet
escape kemana gitu. Lagian, liburan kali ini, gue pengen sendirian..”
ujarku menanggapi saran Indi dan Igo.
“Ya, elo maunya suasana pantai? gunung? atau gimana?” tanya Indi.
“Hmm, gue pengen tempat yang bisa menyendiri secara tenang. Gue
bener-bener pengen refreshing, nggak inget-inget Emil dan kejadian yang
nggak ngenakkin itu, Ndi” jawabku.
“Bandung aja!” celetuk Igo.
“Bandung kan suasananya enak, elo ke wilayah Lembang aja, di sana
hawanya dingin banget. Bikin tenang. Kuliner lengkap, mau belanja juga
gampang. Dekat juga kan dari Jakarta!” tambahnya lagi.
“Iya juga sih, kenapa nggak kepikiran ya? Ok deh, Bandung i’m coming!” ujarku langsung setuju dengan saran dari Igo.
Ya, that’s the simple reason why i’m sit on this seat of the Bus to Bandung. Melupakan
kamu, Emil, menghilangkan jejak kamu di setiap celah ingatan. Menghapus
bahwa kita pernah ada bersama. Memulai diri aku yang baru.
“AAAAAA..” sebagian besar penghuni bus berteriak, bus dibantingkan ke arah kiri dengan sangat cepat dan…
*
Semua gelap. Sunyi.
“Rea..” sayup terdengar suara seorang perempuan. Aku menoleh, berjalan perlahan sembari mencari arah suara.
“Rea, bangun.” terdengar suara itu lagi. Kali ini ada cahaya samar-samar. Kemudian ada bayangan menghampiriku.
“Rea, bangun nak!” Bayangan itu kian mendekat, suaranya semakin jelas.
“Hhhgghhh” aku tersedak dan terbatuk. Kali ini tidak gelap lagi,
ruangan di sekelilingku serba putih, perlahan mulai banyak suara. Aku
tidak sendirian rupanya.
“Alhamdulillah, Pa! Papa, Rea sudah sadar!” teriak Mama. Ia menyeka air mata yang mengalir ke pipinya. Menciumiku.
Bergegas Papa ke luar kamar, tak lama kemudian, ia kembali dengan seorang Dokter laki-laki.
“I’m here, my girl!” ujar Papa seraya memelukku.
Aku melihat kakiku digips dan diperban, lengan kananku juga. Di
lengan kiri terpasang selang infus. Apa yang telah terjadi? Mengapa aku
di rumah sakit?
“Halo, Rea. Saya Dokter Wim, kamu sudah 4 hari koma akibat kecelakaan
bus Jakarta-Bandung. Penumpang lainnya luka parah, 2 orang tewas. Bus
tersebut kehilangan keseimbangan di KM99 kemudian terbalik.” Dokter itu
bercerita sambil melakukan pemeriksaan terhadapku.
“Ke..ce..la..ka..an? Ban..dung?” tanyaku. Tenggorokanku seperti tercekat dan tidak bisa berbicara selancar biasanya.
Papa dan Mama saling berpandangan.
“Iya Rea, tadinya kamu mau liburan di Bandung, sendirian.” ujar Mama menjelaskan.
“Reaaaaa!” Indi berteriak kemudian memelukku.
“Sst, ini rumah sakit, Ndi, bukan pasar!” sahut Igo.
“Oh iya, hehe, maklum gue kesenengan liat nih anak akhirnya udah sadar!” ujar Indi.
Aku tersenyum melihat tingkah konyol Indi. Sahabatku yang satu itu memang spontan orangnya.
“Re, ini buat elo” Igo memberikan buket mawar putih. Ajaib, jarang
banget sahabatku yang satu ini bersikap manis seperti sekarang.
“Ma..ka..sih, Go” ujarku.
“Bukan dari gue. Tadi sebelum ke sini kita ketemuan dulu sama Emil. Bunga ini dari dia.” ujar Igo.
“E..mil? E..mil..si..apa?” tanyaku. Sepertinya nama itu asing di telingaku.
“Elo nggak inget, Emil, Re?” tanya Indy dengan ekspresi wajah tercengang.
Aku menggeleng pelan.
“E..mil? E..mil..si..apa?” tanyaku lagi.
Mama dan Papa berpandangan dengan ekspresi heran. Indy dan Igo juga.
Terlintas keinginan tuk dapat
hilang ingatan agar semua terlupakan
dan ku berlari sekencang-kencangnya
tuk melupakanmu yg tlah berpaling
Letih disini…
kuingin hilang ingatan
Letih Disini…..
kuingin hilang ingatan