Aku mendengar suara langkah hujan yang mengendap-endap di atap rumah,
ketika gulungan awan kelabu menyesaki langit siang yang menggerutu. Dan
pada hijaunya rerumputan, aku bicara. Pudar. Dan pada hijaunya
dedaunan, aku berkata. Pekat tak lagi samar.
Aku mendengar suara langkah hujan perlahan menapak-napak di sela atap. Berjingkat bersembunyi. Semacam takut jika kehadirannya kuketahui. Dan pada memerahnya tanah, aku bicara. Mati. Dan pada merahnya pagar-pagar rumah, aku berkata. Menusuk dan tajammu merintih.
Aku mendengar suara langkah-langkah hujan yang mulai berlarian. Bergemuruh kencang dari jauh seperti derap pasukan perang. Berlari, beraturan, seolah menghindari musim bermukim di langit kelam. Dan pada putihnya dinding-dinding rumah, aku bicara. Terkikis, tak dapat menangis. Dan pada cokelatnya noda-noda tanah yang berhamburan tak terarah, aku berkata. Bergembiralah.
Aku semakin mendengar suara langkah hujan yang berjatuh-jatuhan bersama tubuh gemuknya. Berdebam-debum di sana di sini. Tumpah. Menjatuhkan diri tanpa bersisa. Dan pada rentanya pepohonan, aku bicara. Kesepian, tidak kah tumbang saat petang menjelang? Dan pada muramnya dinding yang mendingin, aku berkata. Diabaikan, tidak kah bagimu itu menyenangkan?
Aku masih mendengarkan hujan berteriak tak bertuju. Dan aku meracau tak menentu. Bagaimana hujan dapat mengerti aku jika kami tak saling berucap kata? Dan pada birunya yang hilang, aku tak ingin bicara. Tercekat, terhimpit sangat. Dan pada kelabunya yang usang, aku tak lagi berkata. Sunyi, meredupi suara. Terhenti.
Lalu langkah hujan tampak lunglai, bergegas menjemput badai.
Aku mendengar suara langkah hujan perlahan menapak-napak di sela atap. Berjingkat bersembunyi. Semacam takut jika kehadirannya kuketahui. Dan pada memerahnya tanah, aku bicara. Mati. Dan pada merahnya pagar-pagar rumah, aku berkata. Menusuk dan tajammu merintih.
Aku mendengar suara langkah-langkah hujan yang mulai berlarian. Bergemuruh kencang dari jauh seperti derap pasukan perang. Berlari, beraturan, seolah menghindari musim bermukim di langit kelam. Dan pada putihnya dinding-dinding rumah, aku bicara. Terkikis, tak dapat menangis. Dan pada cokelatnya noda-noda tanah yang berhamburan tak terarah, aku berkata. Bergembiralah.
Aku semakin mendengar suara langkah hujan yang berjatuh-jatuhan bersama tubuh gemuknya. Berdebam-debum di sana di sini. Tumpah. Menjatuhkan diri tanpa bersisa. Dan pada rentanya pepohonan, aku bicara. Kesepian, tidak kah tumbang saat petang menjelang? Dan pada muramnya dinding yang mendingin, aku berkata. Diabaikan, tidak kah bagimu itu menyenangkan?
Aku masih mendengarkan hujan berteriak tak bertuju. Dan aku meracau tak menentu. Bagaimana hujan dapat mengerti aku jika kami tak saling berucap kata? Dan pada birunya yang hilang, aku tak ingin bicara. Tercekat, terhimpit sangat. Dan pada kelabunya yang usang, aku tak lagi berkata. Sunyi, meredupi suara. Terhenti.
Lalu langkah hujan tampak lunglai, bergegas menjemput badai.
No comments:
Post a Comment