July 31, 2012

buat kamu yang aku rindukan,
"maaf jika aku sering dan bahkan suka merindukanmu. itu hanya suatu kebetulan yang betul terjadi. dan akupun tidak tau mengapa itu terjadi. kalau kamu merasa keberatan jika aku rindukan, ya aku sudah minta maaf sebelumnya"

Lagu adalah kendara yang membawa kita ke suatu masa. Mata seakan melihat lagi kejadian itu, hidung kembali mencium aroma itu, kaki seakan menapak lagi lantai di tempat itu, dan orang(-orang) yang ada di sana kembali bersama kita sampai lagu itu berhenti berputar.

dan aku selalu mendengarkan lagu 'itu' yang bisa membawa aku kembali mengingat masa-masa 'saat itu' jika aku sedang merindukanmu yang dulu :')
      Dear someone,
Aku percaya satu hal: Ketika kita merindukan seseorang, entah bagaimana caranya, rindu itu akan tersampaikan.
Perkara rindu itu akan dikirim kembali atau tidak, kita akan tahu kemudian. Karena seperti halnya makanan, tak semua mudah dicerna. Ada yang segera, ada yang perlu waktu. Ada yang perlu waktu sebentar untuk mengendap, ada yang langsung mengalir.
Terima kasih. Sepertinya kau mengerti. 

(Ya, sudah pasti rindu ini selalu untukmu)

July 29, 2012

dear someone,
saya sebenarnya sadar ketika kamu secara diam-diam membalikkan kamera di BlackBerry-mu, ketika saya saat itu sedang berdiri di belakang kursi yang kamu duduki... jangan mengingkari kenyataan itu :))

burung di tepi jendela

Di antara kita ada selembar kertas putih. Aku melemparkan sebuah pena. Kau menangkapnya, dan menuliskan sesuatu. Lalu kau seakan pergi karena yakin aku pasti membacanya.

Aku rasa kau tak benar-benar pergi. Hanya saja kau tak ingin ada yang terluka. Bukan aku, tentunya. Aku tahu kamu masih di sana. Menonton. Sembunyi di antara barisan lini kala.

Aku paham. Sungguh paham. Dan tak sengaja aku pun jadi belajar bahwa kadang kita tak sengaja melukai orang lain dengan memberinya sedikit harapan. Betapa pun kecilnya sebuah jarum, ia tetap punya kuasa untuk menyakiti.

Aku tak berhak sedih. Kita hanya sepasang orang asing dalam sebuah kandang burung yang sepi di tengah keramaian.

Kicauanmu senyap dan hanya sesekali. Tapi aku selalu ada di tepi jendela untuk mendengarkanmu.

(Semoga kalimat terakhir tadi menciptakan busur pelangi di wajahmu. Seperti saat kita bertemu dulu.)

July 28, 2012

padahal hanya beda di imbuhan

Jatuh cinta itu lebih mudah dari mencintai.
Dicintai itu lebih mudah dari mencintai.

Meninggalkan itu lebih mudah dari melupakan.
Ditinggalkan itu lebih kehilangan dari meninggalkan.

Memilih itu lebih sulit daripada dipilih.
Dipilih itu lebih berat daripada memilih.

Kadang. Tak pasti. Tak selalu.
Tapi kebanyakan begitu.
Aku lupa rasanya patah hati ketika jatuh cinta. Tapi aku ingat rasanya jatuh cinta ketika patah hati - dan itu yang membuat hatiku perlu waktu untuk sembuh. Karena kenangan yang indah itu kadang semacam kucuran air jeruk di atas luka, yang hampir kering sekali pun.

July 25, 2012

Sekaleng Rindu Pengantar Racun

Rindu ini masih tersimpan dalam kaleng. Jelas tertulis tanggal kadaluwarsanya. Dan aku memilih untuk tidak menenggaknya, betapa pun hausnya aku.

Aku tidak boleh bodoh. Aku harus mencintai diriku sendiri. Aku harus tahu batasannya, tenggat waktunya. Karena aku belum ingin mati. Dan kalau pun aku harus mati hari ini, aku menolak mati karena keracunan.

Jadi maafkan jika rindu ini harus aku buang ke tong sampah. Dan maafkan jika ada yang memungutnya, lalu minum dan mati. Bukan salahku jika dia semacam malas membaca tanggal yang jelas ditulis di situ.

(Daging yang sudah mati dan terpotong saja bisa membusuk jika didiamkan. Apalagi perasaan?)

ruang-ruang kosong dan aku

Sebaiknya kita berhenti saling menyapa. Tak perlu juga saling mendoakan. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal. Anggap saja malam itu tak pernah ada.

Mungkin kau benar. Tidak ada perasaan yang harus dijaga. Kalaupun ada, itu bukan perasaanku. Ini bukan dendam - tapi untuk apa menganggap sesuatu kepada seseorang yang menganggapku tak lebih dari sebuah pengisi kekosongan?

Aku bukan sebuah gua. Aku bukan sebuah terowongan. Aku bukan liang sebuah lonceng. Kesemuanya itu kosong. Aku tidak kosong. Di dalamku ada sesuatu yang berdegup dan mengingatkan bahwa aku masih hidup.

It’s my damn heart.

July 20, 2012

Kamu masih mencintaiku?
Sudah tidak lagi.
Mengapa?
Aku tidak tahu. Hatiku tidak bilang apa-apa. Dia hanya mau berhenti mencintaimu. Begitu saja.
Sejak kapan?
Aku lupa kapan tepatnya. Mungkin saat ia dicuri...
Maksudmu, kamu sudah jatuh cinta lagi pada orang lain? Secepat itu?
Jangan gila. Hatiku memang kesepian, tapi dia segitu cepatnya untuk bisa jatuh cinta lagi.
Jadi mengapa?
Kamu pernah tahu senapan angin?
Ya, tentu saja. Ada apa dengan senapan angin?
Hatiku tertembak oleh senapan anginmu.
Maaf. Maaf jika ia kesakitan karenanya. Aku tidak sengaja. Aku hanya bermaksud bercanda dengan hatimu ketika itu.
Ah, tidak apa-apa. Dia sama sekali tidak terluka. Toh "hanya" senapan angin.
Lalu?
Begini. Saat laras senapan angin itu mengarahkan matanya ke dadaku, ada sesuatu yang melompat keluar dan ingin ditangkap. Hatiku siap mati saat itu. Dia tidak tahu bahwa kamu tidak serius mau menembaknya. Dia kecewa, lalu berniat mau bunuh diri.
Maafkan aku...
Tidak mengapa.
Lalu yang di dalam dadamu sekarang itu hati siapa? Dan hatimu sendiri: Di mana dia sekarang? Boleh aku kunjungi?
Sekarang aku sedang memakai hati palsu. Juga senyum palsu. Juga bahagia yang palsu. Binar mataku pun palsu. Aku tak tahu kemana mereka semua - bibir, hati, dan binar mataku yang sebenarnya berada. Mungkin mereka lelah dan ingin beristirahat sementara waktu.
Kamu benar-benar tidak tahu di mana mereka?
Mungkin aku bisa mencari tahu, tapi sudahlah. Untuk apa?
Tapi aku ingin hatimu yang dulu. Sudah terlambatkah?
Aku bukan Tuhan. Itu saja yang dapat ku sampaikan kepadamu. Mungkin nanti jika kamu sudah lelah bermain dan ingin menetap di suatu tempat, kamu bisa melihatnya lagi. Mungkin. Hatiku ingin jadi rumah permanen, sayang. Bukan rumah kontrakan, atau hanya sekedar lahan parkir.

tentang menulis

  • Menyenangkan adalah membaca tulisan yang dapat menyelipkan rasa manis saat bercerita tentang kegetiran. Itu luar biasa.
  • Twitter itu “high-light” dari blog seseorang. Kalau tweets-nya menarik, biasanya tulisan panjangnya juga menyenangkan, IMO.
  • Saya termasuk satu dari sekian banyak orang yg beruntung, karena suka menulis. Sebab menulis itu terapi, penyembuh luka :))
  • Saya menyenangkan diri saya sendiri ketika menulis. Itu catatan perasaan & pengalaman batin saya. Jika ada org lain yang suka, itu bonus.
  • Menulis dengan menangis, atau kadang dengan senyum. Sendirian. Bukan karena gila, tapi karena saya sedang mengajak diri saya mengobrol.
  • Menulis itu menguatkan kalau kamu melakukannya dengan keinginan untuk sembuh. Jika tidak, malah akan memperpuruk.
  • Sayangnya saya tidak bisa menulis fiksi seperti kebanyakan orang. Saya ingin bisa. Tapi ya sudahlah, yang penting saya menulis & menulis :D
  • Mungkin tulisan yg bagus itu terbuat dari kejujuran, kesederhaan berbahasa, tapi kerumitan perasaan, & gak maksa? Gue bukan ahli, jadi gatau :D
  • Orang-orang yang puitis itu biasanya perasaannya lembut dan mudah terluka, tapi sanggup mengobati lukanya sendiri :))

selalu jatuh cinta

  • Selalu jatuh cinta kepada mata yang ingin menangis, namun berusaha untuk menahan air matanya.
  • Selalu jatuh cinta kepada hujan yang mewakili perasaan yang tidak dapat diterjemahkan melalui tulisan.
  • Selalu jatuh cinta kepada senja yang selalu mengingatkan bahwa ada keindahan yang maha dahsyat di balik duka.
  • Selalu jatuh cinta kepada warna putih yg tidak dianggap warna itu. Hati siapa yg tak tersentuh oleh segala sesuatu yg tersirat & membias?
  • Selalu jatuh cinta kepada ketidakberdayaan dan teriakan minta tolong. Bukan sekedar kasihan, tapi juga cinta.
  • Selalu jatuh cinta kepada cinta, yang daripadanya kita ada, lahir, & mati. Penyebab & penggerak Semesta. Zat yang utama.
  • Selalu jatuh cinta kepada dia yang mencintai dan membunuh rasa untuk dia yang dicintai.
Aku bukan kebanyakan perempuan
kebanyakan perempuan bukan seperti aku
aku tidak pernah kebanyakan
perempuan lain mungkin banyak
tapi tidak banyak perempuan yang seperti aku
karena aku tidak suka yang kebanyakan

Kamu suka banyak,
atau kamu suka kebanyakan perempuan,
atau kamu suka perempuan banyak?

Aku cuma satu.

Jadi kalau kamu suka yang banyak
carilah yang banyak.

Bukan aku orangnya.

teka-teki jumat siang

Kamu adalah harapan yang pernah ada,
sekaligus pembunuh harapan itu sendiri.
Ya, kamulah yang membunuh dirimu sendiri.

Aku adalah si “yang pernah ada”,
sekaligus si “yang masih ada”
dan si “yang sudah tak lagi ada”.

Lalu siapakah kamu?
Dan siapakah aku?
Mungkin tak ada yang perlu mencari tahu.

Karena jika tak pernah ada “kita”
maka “kamu” dan “aku” itu
memang tak pernah ada.

Lalu mengapa tak pernah ada?
Aku tidak ingin jatuh cinta kepadamu
tapi siapa yang dapat menahan rasa?
Bahkan saat hujan turun pun
pawang dari Negeri Seribu Langit pun
tak akan kuasa menahannya.
Dan saat panas menggerogoti kesadaran
Dewa Matahari pun tak kuasa
memacung kepalanya.

Aku tidak ingin jatuh cinta kepadamu
tapi siapa yang dapat menahan rasa?
Bahkan aku lupa siapa aku
setiap kali kita bertatap aksara
bahkan di setiap titik dan koma.

Kamu yang telah lama ada
tapi baru datang menjenguk:
Aku tidak ingin jatuh cinta kepadamu,
setidaknya sampai kamu
merubah langit menjadi tanah liat.
Bukan bermaksud untuk mengada-ada
atau diada-adakan
tapi rasa ini memang ada
entah sejak kapan dia tumbuh.

Siapa yang menanam benihnya?
Sejak kapan dia tumbuh?
Mengapa bisa tumbuh?
Bagaimana nantinya?

Dan aku diam sejenak
saat menuliskan bait kedua di atas.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi
mungkin tidak ada
atau ditiadakan
karena perasaan tidak dapat terlihat
dan tidak dapat berdusta.

Dusta itu antek-antek Iblis.
Dan Tuhan, ya Tuhan,
ini bukan perasaan yang buruk kan?
Dan segala sesuatu yang baik
daripadaMulah datangnya.

Ini bukan semacam pengkhianatan kan?
Cinta itu memaafkan
tapi bukan berarti
memberi orang yang sama
kesempatan untuk menyakiti kita lagi.

Jangan.

Itu bukan cinta,
itu kebodohan.
Ya, putus asa itu suatu kebodohan.

Jangan.

Cinta mungkin bodoh,
tapi cinta bukan keputusan
yang dibuat di atas keputusasaan.

Jangan.

Jangan pernah membohongi cinta
karena dia akan berbalik menyerangmu
dan membencimu karenanya.

Jangan.

Cintai cinta karena dia adalah cinta.
Bukan karena dirimu membutuhkannya,
Bukan karena dia dapat membunuh
rasa kesepianmu.

Cintai cinta karena cinta.
Jangan karena yang lainnya.

Jangan.

Sang Nelayan: Sebuah Analogi

Seorang nelayan sudah menebarkan jala, padahal tadinya dia enggan untuk melaut pada hari itu. Cuaca di luar sebenarnya kurang bersahabat, dan ia pun masih sangat lelah dari perjalanannya yang lalu. Namun apa daya, kecintaannya pada laut dan segala isinya memanggil jiwanya untuk kembali ke sana.


“Tak ada ruginya untuk mencoba,” ujarnya, “meskipun mungkin ini bukan hari keberuntunganku.” Jadi tetap ditebarkannya jalanya dari atas perahunya yang baru saja ia cat dengan warna merah.

Dan ternyata perkiraannya benar. Maklum, ini bukan pertama kalinya ia melaut. Hanya dua ekor ikan kecil yang berhasil ditangkapnya sejak pagi hingga sore hari. Merasa tak ada untungnya membawa pulang kedua ekor ikan itu, dilepaskannya mereka saat itu juga kembali ke laut lepas.

Sesampainya di rumah, dalam kesendiriannya, ia berpikir, “Mungkin seharusnya aku pindah melaut ke lain samudra. Laut yang sekarang menjadi sumber semangatku, tak lagi punya kekuatan untuk membuat jiwaku bergelora.”

Padahal tadi dia yakin itu karena cuaca.

Sebegitu mudahnya ia mengganti kesimpulan saat ia terlalu banyak berpikir. Dan kau tahu apa yang dia lakukan keesokan harinya? Kembali ke lautnya yang lama. Laut yang pernah tenggelam dalam dirinya. Benar. Laut itu yang tenggelam, bukan si nelayan. Ditinggalkannya lautnya yang sekarang, untuk lautnya yang lama.

Karena yang lama belum tentu lebih buruk dari yang sekarang.
Dan yang sekarang belum tentu mampu mencintai sedalam yang dulu.

(matahari kembali terbenam, dan beberapa ikan masuk ke jala si nelayan dengan sukarela - tanpa harus dipaksa).

terlantar

Hatiku terlantar. Seperti anak yatim-piatu yang menanti di panti asuhan, dan tidak ada seorang pun yang mau membawanya pulang. Padahal ia selalu manis, selalu harum. Pakaiannya pun selalu rapi, dan ia dapat menyembunyikan tangis dan amarahnya rapat-rapat.

Hatiku terlantar. Seperti seorang yang sangat kelaparan dan terlantar. Ia terseok, tak tahu kemana harus minta tolong. Sekelilingnya sunyi. Sekitarnya sepi. Ia mengaduh sendiri, sampai mati lemas.

Hatiku terlantar. Seperti sehelai daun dari pohon emas yang jatuh di tanah bangsawan. Tak dianggap, karena di rumah itu segalanya lebih berharga. Bahkan anjing mereka pun makan dari piring bermatakan intan. Dan ia terinjak kaki pemulung, yang lalu membawanya pulang.

Hatiku bahagia. Di tangan si pemulung ia dirawat dan dicinta. Bahkan saat malam, ia ditidurkan di atas bantal sang pemulung - sementara sang pemulung sendiri tidur di atas tikar.

Sebegitu dicintainya ia.
Hingga menangis ia.
Hingga bersujud ia.

Ternyata besarnya cinta tak tergantung oleh sekat dan rupa yang membatasinya. Ternyata cinta itu sebegitu mulianya, dan tidak akan pernah mati sia-sia.

Hatiku berserah.
Di kakiMu, ya Allah.
Kirimkan orang yang bisa menghargainya,
sebagaimana aku menghargai apa dan siapa pun dia.

izinkan kita saling membunuh

Bukan cinta yang membunuhku,
tapi pikiranku, pikiranmu.
Tentang kamu, tentang aku, tentang kita.
Tentang dia, tentang kami, tentang kalian.
Tentang mereka.

Hati yang menghidupi, pikiran mematikan.
Pertimbangan, pertimbangan, pertimbangan.
Keputusan, keputusan, keputusan.
Hati boleh meragu, hanya sepanjang pikiran mengizinkannya.

Salah, salah, salah.
Benar, benar, benar.
Jangan, jangan, jangan.
Boleh, boleh, boleh.
Begini, begitu, seharusnya.

Seandainya kepala boleh mati berpikir,
sama seperti hati berhenti merasa.
Lalu apa ini denyut di pelipis dan nadi,
ketika hati berhenti berdebar?

Aku lelah, tak ingin lagi berpikir.
Lebih baik aku bodoh, daripada sedih.
Aku ingin beristirahat, jauh dari kecamuk di kepala.
Lebih baik mataku kosong, daripada menangis.

Aku butuh racun yang sesungguhnya untuk isi kepalaku.
“All will be just fine,” itu merk racun paling munafik dan hampa yang aku tahu.
Aku tidak perlu iming-iming seperti itu.
Kamu bukan tokoh politik, aku bukan rakyatmu.
Kita hanya sesama orang kesepian yang terluka.
Jangan menganggap derajatmu setinggi itu.

Mari kita saling berbaik hati.
Jangan bunuh lagi aku dengan pikiranku tentang apa pun.
Dan aku tidak lagi akan membunuhmu dengan pikiranmu tentangku.
Kita selesaikan tanpa hati.
Mampukah kamu?

Sungguh. Ini bukan cibiran.
Ada kesempatan yang datang berkali-kali, ada kesempatan yang datang hanya sekali. Dan kesempatan ini hanya aku tawarkan kepadamu sekali ini saja. Juga kepada diriku sendiri. Aku yang bodoh, kamu yang bijak.

(Kesempatan dan waktu. Mereka tidak berteman baik. Tidak seperti kita)

Kita masih bisa berteman baik, meskipun kesempatan itu sedang berjalan. Pergi perlahan, namun kepalanya tak akan lagi menengok ke belakang. Aku masih memegang teguh janjiku itu. Sesetia itulah aku pada sosok apa pun. Meskipun namun.

(Dan aku tersenyum. Air mata dibawa pergi oleh kesempatan. “Untuk bekal minumku di jalan nanti,” katanya)
:)

rindu adalah kesia-siaan

Jika rindu adalah secarik kertas
mungkin sudah sejak kemarin aku remas,
atau ku robek, atau bisa juga ku bakar.

Karena rinduku hanya kata-kata semata.
Bagimu, setidaknya.
Karena rinduku adalah catatan hati.
Bagiku. Karenanya ia berharga.

Bagiku.
Bukan bagimu.

Sebab itu, rindu ini harus hancur.
Sekarang juga.

jangan

Jangan pernah menangisi hal yang sia-sia.
Sayangi bumi. Hematkan air.
Jangan pernah menangisi orang yang membuatmu menangis.
Sayangi mata indahmu. Jangan buat Kermit iri.

Jangan pernah bernyanyi ketika hatimu hancur.
Kasihan telingamu, nanti gendangnya sumbang.
Jangan pernah bernyanyi ketika kamu ingin menangis.
Kasihan ingusmu, nanti dia tertelan mulutmu.

Jangan pernah berkata ya ketika hatimu bilang tidak.
Bohong itu tidak baik.
Jangan pernah berkata ya dengan rasa terpaksa.
Kamu berhak punya keinginan sendiri.

Jangan pernah menerima cinta hanya karena kamu kesepian.
Kamu punya sahabat yang namanya Tuhan.
Jangan pernah menerima cinta hanya karena kamu ingin punya pacar.
Nanti kamu bingung sendiri saat kamu benar-benar bertemu dengan orang yang membuatmu jatuh cinta.

Jangan pernah menjadi orang yang bukan seperti kamu yang sekarang.
Karena aku sayang kamu karena kamu.
Jangan pernah menjadi orang lain yang seperti mereka.
Karena katamu kemarin, “kita bukan mereka.”

Jangan pernah berhenti untuk mencari bahagia.
Karena bahagia juga sedang mencari kamu.Jangan pernah berhenti untuk mencintai cinta.
Karena cinta tidak pernah berhenti mencintaimu.

aku ingin bahagia

“Aku ingin bahagia.”
Kamu masih kata-kataku itu?
Seharusnya ya,
karena itu alasanku untuk pergi.

“Aku ingin bahagia.”
Seingatku, kamu tidak berkata apa-apa.
Kamu diam, entah mengapa.
Hanya kamu dan Tuhan yang tahu.

“Aku ingin bahagia.”
Dan sepertinya kamu belum ingin bahagia.
Juga tidak mengizinkanku
untuk membuatmu bahagia.

“Aku ingin bahagia.”
Meskipun kamu belum menginginkannya.
Aku tidak mau memaksa,
tidak juga iba dan bertanya, “Mengapa?”

“Aku ingin bahagia.”
Dengan segala cara apa,
aku ingin bahagia.
Dengan cara meratap pun.

Seperti ini.
Aku ingin bahagia.
Dengan atau tanpa kamu.
Aku akan bahagia.

Malam ini mungkin malam terakhir aku melibatkan perasaanku saat berbicara denganmu. Semoga besok aku sudah kuat untuk mengangkat hatiku dari atas cawanmu yang kosong.

Kamu tidak pernah menyakitiku. Ingat itu. Aku hanya kecewa atas kebodohanku sendiri. Ini semua adalah salahku, dan bukan salah siapa pun. Termasuk kamu. Kamu juga tidak perlu meminta maaf seperti tadi, karena itu akan membuatku semakin sedih karena telah merepotkanmu, sekaligus mencoreng arang di atas mukaku sendiri. Saat ini aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan permen yang tak sempat dikecapnya. Dan aku tidak boleh menangis, karena permen itu sebenarnya tidak pernah ada di tanganku. Entah siapa yang bermimpi sebenarnya: Aku, kamu, atau permen yang tadinya sepertinya ada dalam genggaman tanganku.

Aku menahan airmataku usai kita berbicara tadi. Aku merasa tertampar oleh kenyataan bahwa terkadang ada orang yang tidak siap untuk menerima ketulusan. Dan aku mungkin tidak lagi punya kesempatan untuk berbicara empat mata denganmu, untuk mengatakan semua yang ingin aku katakan - karena aku mau membatasi diriku sendiri untuk itu dan memberi diriku sedikit harga. Padahal ini sudah ada dalam kepalaku sejak siang tadi. Tapi ya, sudahlah. Aku ikhlas.

Atas nama kekecewaan, mungkin besok kamu tidak akan lagi mengenaliku. Anggap saja kita ini sepasang manusia asing yang hanya pernah saling mengenal dalam mimpi semata. Jika memang itu mimpi, aku mengutuk detik di mana aku terjaga.

Menjadi kamu itu mungkin tidak mudah, namun menjadi seorang aku pun itu hal yang sulit. Namun sudahlah, seperti kataku tadi. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas - karena mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu pada musim yang salah.

Terima kasih telah menjadi pemahat senyumku sepuluh hari ini. Jika saat ini aku kembali lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, aku percaya bahwa sebentar lagi akan ada orang lain yang mau menghangatkan hatiku, seperti halnya aku menghangatkan hatinya. Aku masih percaya pada ketulusan. Betapa pun. Karena hanya itu satu-satunya yang aku punya. Allah tahu hatiku. Kamu boleh tanya Dia.

Kamu. Selamat pagi.

kita sama-sama korban

Sekarang baru terbuka mata hatiku.
Itu adalah caramu untuk menutupi ketakutanmu akan cinta:
Dengan membanting waktu
hingga pecah berantakan.

Dan mendramatisir perasaan
yang sebenarnya hampir mati
adalah caramu untuk memelihara harap
yang pendarnya kian meredup.

Kamu adalah korban patah hati.
Aku adalah korban jatuh cinta.
Lalu jika kita sama-sama korban,siapa yang dapat kita anggap
sebagai tersangkanya?
Siapa?

kecewa yang menggebu-gebu

alhammdulillah.. pikiran kacau saya tadi malem entah disebabkan karena apa karena 'someone' alias temen saya menjelaskan sesuatu. sebenernya udah cenat-cenut duluan kepala saya, tapi berhubung itu lagi ngga dirumah akhirnya saya putuskan untuk menahan rasa yang menggebu-gebu, rasa galau.

kali ini saya gagal menahan rasa galau saya. ngga seperti biasanya, biasanya saya selalu berhasil menahan rasa galau saya. mungkin Allah kali ini mengizinkan saya melampiaskanr rasa galau saya pada sesuatu, yaitu bantal dan tempat tidur. tadi malam setelah saya sampe rumah, saya melaksanakan dulu kewajiban saya sebagai muslim melaksanakan sholat isya sekaligus meminta ketenangan pikiran dan hati. Alhamdulillah setelah sholat hati dan pikiran saya sudah sedikit tenang, tapi galaunya belum hilang.

saya sendiri bingung galau saya tadi malem karena apa. tapi tadi malem saya memang cukup kecewa. niatan saya buat minta maaf secara langsung pada temen-temen semasa smp dulu gagal. ya saya berniat minta maaf sebelum puasa ini. yah tapi apa boleh buat, niat itu digagalkan oleh keadaan. mungkin Allah belum mengizinkan saya untuk minta maaf, atau mungkin Allah belum mengizinkan saya untuk minta maaf disaat itu.

lumayan lama sih saya menunggu dua temen saya tadi malem setelah pulang les. dan itu udah hampir setengah 8 mungkin. saya orangnya teguh dengan niat saya sendiri. tapi setelah saya nanya sama temen saya dan juga temennya dua orang temen saya, ternyata mereka udah pulang daritadi, penungguan saya sia-sia. yaudah dari situ saya kecewa. saya kecewa karena belum bisa minta maaf secara langsung. padahal tau sendiri kan saya sama temen semasa smp saya jarang ketemu. mungkin yang sering hanya beberapa harena satu sma sama saya.

diperjalanan pulang mama udah sibuk smsin saya terus kenapa kok belum sampe, biasanya jam segitu saya udah sampe. sedikit berbohong untuk kebaikan, saya bilang kelas saya pulang agak akhir. ya untungnya mama saya percaya. dan sayapun janji ngga mau bohong lagi sama mama saya hanya untuk masalah seperti ini. dan saya pun janji gak akan nunggu orang yang ngga jelas ada apa engga dengan niat yang belum saya sampaikan ke orangnya.

untunglah pagi ini pikiran saya sudah kembali seperti biasa. tapi masih terbesit dalam benak saya rasa kecewa itu. ah sudahlah biarkan saja. nanti lama-kelamaan juga akan hilang dengan sendirinya. mungkin buat temen saya yang tadi malem saya gagal buat minta maaf secara langsung, saya mintaa maaf disini aja ya. mungkin kalian baca. tapi kalo engga juga tidak apa-apa, apalah arti tulisan saya ini untuk kalian. tapi intinya saya cuma mau minta maaf aja kok.

July 19, 2012

Hari ini saya kembali mendengar tentang cinta yang mati. Atau katakanlah, cinta yang dibiarkan tidak hidup dan berkembang. Dan alasannya terdengar sederhana, namun sebenarnya tidak: “belum siap”.

Benarkah perlu kesiapan untuk mencintai dan dicintai? Bukankah berani mencintai dan dicintai itu berarti suatu keberanian dan tidak perlu kesiapan yang lain lagi? Kesiapan macam apa?

Mungkin saya termasuk orang yang tidak pernah belajar dari kesalahan dan masa lalu. Mungkin saya terlalu besar menaruh kepercayaan kepada cinta.

Buat saya, cinta itu cukup untuk cinta.
Buat saya, cinta itu siap untuk cinta.
Jika ada keraguan, itu bukan cinta,
karena cinta tidak mengenal keraguan.

Itu saja.

Dan saya berduka, karena mungkin ada pertemanan yang tidak lagi akan utuh seperti kemarin.

Saya sedih.
Ada rindu yang tanpa kata-kata pun getarannya bisa menembus seluruh jiwa dan raga. Ada rindu yang tiba melalui mimpi. Lalu ada rindu yang tidak akan tersampaikan jika tak terucapkan.

Dan rindu yang sekarang ada di dalam sukma, adalah keduanya. Duhai engkau yang ada di dalam kisi-kisi kepala: Aku rindu. Sampaikah getarannya di sana? Bergetarkah sanubarimu ketika mengingatku? Jika tidak, mungkin rindu ini harus kembali aku masukkan ke dalam lemari pendingin. Biarkan dia beku sendiri di sana agar tidak membusuk. Biarkan nanti aku berikan kepada seseorang yang mampu merindukanku sedemikian hebatnya, seperti aku merindukannya. Tidak boleh ada tangan yang bertepuk sebelah, atau kaki yang melangkah tanpa pasangannya. Sepi itu memang si pelaknat yang sesungguhnya.

Jika rindu adalah racun, maka aku mungkin akan mati malam ini.
Selamatkan aku. Aku belum ingin mati secepat ini. Demi apa pun.

Aku. Sang Perindu.

alasan saya untuk jatuh cinta

Saya manusia yang sangat sederhana dengan pemikiran yang terlalu rumit. Saya tidak punya banyak keinginan, tapi saya punya banyak rasa yang tidak dapat saya tuliskan dengan kata-kata yang lantang bunyinya.

Mungkin orang lain melihat langit itu biru. Hanya sebatas itu. Di mata saya, ada makna yang tersembunyi yang saya pikirkan: Mengapa Tuhan mewarnai langit dengan warna biru?

Seperti itu.

Mungkin orang lain ingin memiliki banyak uang. Berlimpah-limpah. Sementara saya hanya ingin memiliki banyak “cukup”. Berkelimpahan dalam cukup.

Seperti itu.

Jadi, terima kasih untuk puisi, Tuhan. Setidaknya, saya punya sesuatu yang bisa saya jatuh cintai setiap hari tanpa takut terluka.

Semoga saat saya tidak lagi dapat mengingat kenangan buruk, saya tetap dapat dan ingin selalu menulis.

Amin.

saya, salah satunya

Semua orang mau jadi menantu seorang Ratu,
tapi tak ada yang mau mati seperti Putri Diana.
Atau tinggal di Inggris.
Saya, salah satunya.

Semua orang mau jadi Presiden,
tapi tak ada yang mau punya mata berkantung.
Atau punya pasangan gemuk yang rambutnya setinggi Tugu Monas.
Saya, salah satunya.

Semua orang mau jadi “sesuatu”,
tapi tak ada yang mau jadi bahan lelucon.
Atau dianggap “hanya mengandalkan tampang”.
Saya, salah satunya.

Semua orang mau jadi “tak sobek-sobek mulutmu”,
tapi tak ada yang mau punya wajah se-absurd itu.
Atau dianggap membosankan, pada akhirnya.
Saya, salah satunya.

Semua orang mau jadi yang terakhir bagi seseorang,
tapi tak ada yang ikhlas jika masa lalunya masih menghantui.
Atau mencintai tanpa syarat dan ketentuan berlaku.
Saya, salah satunya.

Semua orang mau jadi yang terbaik dan terbahagia,
tapi tak ada yang mau membayar harganya.
Atau melalui proses panjang untuk menjadi seperti mereka.Saya, salah satunya.

Kamu, salah duanya.
Tapi tetap saya, salah satunya.

merajut matematika waktu

Teruntuk lelakiku di masa depan.

Masa lalu adalah tempat di mana aku mengalami beberapa kegagalan sehingga akhirnya aku sekarang berada di sini.

Dan masa sekarang adalah tempat di mana suatu hari nanti aku akan menengok ke belakang dan mengucap syukur atas waktu-waktu ini.

Di masa depan nanti, semoga kamu yang berada di sana, dan saat aku melihatmu aku bersyukur atas masa lalu dan masa sekarangku.

Karena tanpa sejarah, tanpa masa lalu, tanpa masa sekarang, tanpa kamu, dan tanpa aku, tak mungkin akan ada masa depan dan kita. Semuanya harus dan memang berkaitan. Seperti rajutan di tangan Tuhan: Saling mengait, terkait, untuk menjadi suatu karya yang indah.

Berhitunglah mulai sekarang dan berjalan maju, lalu tunggu di titik di mana kamu dan aku akhirnya akan menjadi “kita”.

(And we’ll live happily ever after, because of what we have been through in the past and in the present time.)

kesederhanaan adalah hanya

Jika ada yang mencintaimu karena kesederhanaanmu, tak usah kau bersusah payah untuk menjadi lebih dari sekedar sederhana. Kau tidak pernah tahu betapa luar biasanya kesederhanaan itu.

Kesederhanaan adalah mencintai hujan, hanya karena dia menyejukkan. Atau karena dia mengingatkan bahwa menangis itu boleh-boleh saja.

Kesederhanaan adalah bayi yang hanya mengerti bahwa cinta adalah Ibu, dan susu adalah pelipur lapar.

Kesederhanaan adalah sepasang mata anak kucing yang lucu yang hanya memandangmu tanpa tahu apa-apa, namun iba dan sayang tiba-tiba meluap deras dari dalam hatimu.

Kesederhanaan adalah liukan penari ronggeng yang hanya menari karena hidup perlu makan, tanpa memikirkan hujatan orang yang merasa dirinya suci.

Kesederhanaan adalah hanya memikirkan apa yang ada di hadapanmu. Bukan yang di belakang, atau di depanmu.

Kesederhanaan adalah hanya tahu mencintai, tanpa peduli bahwa mungkin nanti cinta juga akan mati. Atau mungkin cinta bisa juga membunuh.

Kesederhanaan adalah segala sesuatu yang sederhana, yang tak perlu dipecahkan dengan rumus atau martil.

Kesederhanaan adalah ketulusan yang tidak berpayah-payah menghitung untung rugi.

Dan jika kesederhanaan adalah hal yang membuatnya mencintaimu, cintailah dia kembali dengan kesederhanaanmu. Hanya dengan kesederhanaan. Karena orang yang sederhana tak mungkin bisa mengerti orang yang tak mengerti apa sederhana yang sesungguhnya.
Ku pikir hatiku patah lagi, tapi ternyata tidak. Mungkinkah hati manusia ada yang terbuat dari karet?

Aku menyukaimu. Masih menyukaimu. Perasaan ini belum berubah sejak pertama aku mengenalmu. Banyak kecewa dan harapan yang tidak pernah kamu ketahui, karena memang aku simpan sendiri. Buat apa kamu tahu, jika tidak merubah apa pun? Buat apa sebuah pohon tahu bahwa dirinya bisa berumur ratusan tahun? Apa yang akan berubah setelah ia tahu? Tidak ada. Makanya.

Tidak jelas juga apa perasaan ini. Aku rasa memang tidak semua perasaan harus diberi nama. Tidak semua perasaan punya “orangtua”. Sama seperti manusia. Tidak semua perasaan harus ada yang mengerti - bahkan si perasa itu sendiri. Aku.

Aku malah khawatir ketika aku tidak patah hati lagi. Ini hati atau karet penghapus yang ada di dalam dada? Mengapa begitu mudahnya menganggap bahwa semua kenangan yang aku kumpulkan menjadi satu gambar adalah  gambar yang abstrak - sementara aku menyusunnya dari tahun ke tahun, bulan demi bulan, hari per hari dengan penuh doa?


Entahlah. Mungkin ini cara Tuhan untuk menghiburku. Aku tetap manusia, meski hatiku mungkin setengah mati.

Aku (tetap) suka kamu. Nonetheless.

thanks to my heart

Terima kasih untuk hati:
yang tidak pernah lelah untuk mencintai,
yang tidak pernah lelah untuk memaksa saya untuk memaafkan,
yang tidak pernah lelah untuk meminta saya untuk membahagiakannya,
yang tidak pernah lelah untuk berharap bagaimana pun suramnya. 

Terima kasih untuk hati:
yang menjadi rumah bagi segala kebaikan dan kemurahan,
yang menjadi tempat bagi saya untuk bertanya dan mempertanyakan,
yang menjadi tempat bercerita saat sendiri,
yang menjadi tuan atas seluruh anggota tubuh saya. 

Terima kasih untuk hati:
yang tidak pernah berbohong,
yang tidak pernah salah,
yang menolak untuk putus asa,
yang memanusiawikan saya. 

Terima kasih, terima kasih,
terima kasih.

July 18, 2012

Jatuh Dusta

Aku tidak percaya setiap kali mendengar ada orang yang berkata bahwa ia takut untuk jatuh cinta. Atau orang yang merasa tidak akan pernah dapat jatuh cinta lagi. Itu sama halnya dengan takut untuk bangun tidur setiap pagi, karena nanti akan mengantuk lagi. Atau orang yang merasa tidak dapat membuka mata lagi ketika jatuh tertidur.

Jatuh cinta memang hal yang menyakitkan jika akhirnya harus patah hati. Atau ketika cinta itu tak terbalas. Tapi untuk hal seindah itu, apa pun akan kita lakukan bukan? Lagipula, siapa yang dapat mengatur perasaan? Jatuh cinta itu anugerah, tak peduli betapa salah waktu dan orangnya.

Jadi orang yang takut jatuh cinta itu adalah orang yang takut untuk merasa lapar ketika hendak buang air besar, atau orang yang takut tidak dapat pulang ke rumah lagi - bahkan sebelum menginjakkan kaki keluar rumah.

Ah. Mungkin orang bukannya takut untuk jatuh cinta. Mereka hanya salah istilah. Yang benar adalah mereka belum bertemu orang lain lagi yang sanggup membuat hatinya jatuh cinta. Atau, dia tidak yakin atas perasaannya sendiri. Kemudian orang itu menyalahkan semuanya kepada rasa takut. Atau rasa gengsi. Kau pasti tahulah, apa maksudku.

Pembohong.

jujur, aku tau itu bukan kejujuran

Ada orang yang terlalu sibuk mencintai dirinya sendiri sampai-sampai hatinya tidak pernah muat untuk orang lain. Dia sangat sedih ketika dunia seakan tak lagi ramah, dan kepalanya bersandar di bahunya sendiri.

Air matanya ditampungnya dengan kedua belah tangannya. Di saat sepi, dia menghibur dirinya sendiri. Bukan salah siapa pun, ketika tak ada sepotong jari pun yang mau menyeka tangisnya.

Semua orang membutuhkan orang lain. Juga dia, hanya saja tanpa sadar dia merasa bahwa dia sahabat dan pencinta terbaik untuk dirinya sendiri. Dan orang lain pun berpikir yang sama tentang dia: Tak perlu ditemani dan dicintai, karena ketika bersama orang lain, hanya luka dan kata-kata tajam yang dapat ia bagikan - sampai akhirnya dia pun terluka ketika orang lain memperlakukannya serupa.

Kamu yang perempuan, dan kamu yang laki-laki. Bukan kejujuran namanya kalau tujuannya untuk menyakiti orang lain. Lebih baik telan sendiri belati-belati berbentuk perkataan yang selalu kalian hujamkan ke dada orang lain. Kejujuran hanyalah topeng yang kalian pakai untuk menutupi rasa benci atas nama “ketidakmunafikan”.
Tempatkan aku di awal harimu,
maka di situlah aku akan berada.

Tempatkan aku di tengah harimu,
maka di situlah aku akan berada.

Tempatkan aku di akhir harimu,
maka di situlah aku akan berada.

Tempatkan aku di saat kau ingat saja,
maka jangan salahkah jika aku akhirnya melupakanmu.

Tempatkan aku di saat kau kesepian saja,
maka jangan salahkah jika aku akhirnya melupakanmu,

Tempatkan aku di saat kau perlu teman berbagi saja,
maka jangan salahkah jika aku akhirnya melupakanmu.

Tempatkan aku di saat kau hanya kesepian dan kedinginan saja.
maka jangan salahkah jika aku akhirnya melupakanmu.

Tempatkan aku di saat kau bukan hanya “saja” melainkan  “selalu”,
maka aku akan menjadi selalumu di setiap selalu dalam keadaan selalu sampai selalu.

July 8, 2012

teruntuk cinta

Kepada Cinta - penyebab, sumber, dan napas inspirasi semua tulisan yang sering aku tulis.

Dear Cinta,

Jika bukan karenamu, aku tidak akan pernah ada dan hari ini aku tidak mungkin berada di sini. Jika bukan karenamu, Tuhan tidak pernah ada dan semesta hanyalah ruang gelap tanpa udara. Tanpa suara.

Jika bukan karenamu, aku tidak pernah menjadi orang yang kuat. Yang tahu rasanya ditinggalkan dan meninggalkan. Yang tahu rasanya jatuh lalu bangkit lagi. Yang tahu rasanya sakit dan disembuhkan. Yang tahu bahwa malam bukanlah akhir dari segalanya. Yang percaya bahwa matahari masih akan terbit esok hari, meskipun langit nampak murung.

Dear Cinta,

Banyak yang menyangka warnamu merah jambu atau merah. Buatku, kamu tidak berwarna. Seperti air di telaga: bening, mengalir, mengisi, menyesuaikan, memberi hidup. Ketika wadah yang kamu isi berwarna hitam, kamu pun seolah-olah tampak hitam. Ketika permukaan yang kamu aliri berwarna putih, kamu pun seperti bunglon. Memutih. Ketika daratan yang kamu isi berwarna hijau, kamu pun tak ubahnya seperti daratan itu. Hanya saja lebih berkilau. Kamu cantik, Cinta.

Tidak penting sebenarnya apa warnamu. Karena sebagaimana udara, kamu tidak terlihat namun dapat dirasa. Tidak dapat dipegang, tapi menggenggam erat. Tidak perlu dicari, tapi terus tetap ada. Hanya saja kadang aku menemukanmu di tempat yang salah.

Dear Cinta,

Terlalu banyak yang ingin aku sampaikan kepadamu. Sampai mati pun nanti masih banyak yang aku ingin katakan kepadamu. Jika surat ini aku teruskan, mungkin jemariku akan putus. Jika semua kata-kata tentangmu aku sampaikan, mungkin bibirku akan mengering lalu jatuh ke tanah. Jika perasaan ini terus aku ungkapkan, mungkin hatiku akan lepas sebelum ada orang yang dapat menangkapnya.

Cinta,

Jangan berhenti bernafas. Jangan pernah mati, meski pun nanti ragaku mengering. Karena kamu adalah Tuhan itu sendiri. Dan tertidur pun, Tuhan tidak pernah.
Terima kasih untuk segalanya. Yang telah aku terima, yang sedang aku terima, dan yang nanti akan aku terima.

Cinta. Kamu kecintaanku.

July 7, 2012

teruntuk rindu

Kepada rindu yang tak tersalurkan. Yang di dalamnya ada rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan.

Dear rindu,

Percuma rasanya menanyakan bagaimana kabarmu, karena kamu akan semakin menggila. Dan aku takut setiap kali aku bertanya, kamu malah tak dapat dibendung. Seperti air yang meluap karena tidak lagi dapat ditampung oleh sebuah bendungan. Keluar begitu saja, lalu lari tanpa kendali.

Aku baik-baik saja. Surat ini aku tuliskan hanya untuk menenangkanmu, meskipun aku tidak yakin rentetan kata-kata ini mampu membuatmu tenang. Tapi setidaknya kamu tahu bahwa aku tidak tinggal diam saja.

Kamu tahu? Setiap malam aku berdoa - semoga kamu segera sembuh. Ya. Kamu sakit, rindu. Rindu itu sakit. Ah, jangan mengelak. Rindu itu semacam gila. Dan orang gila mana yang mau mengakui dirinya gila? Sama seperti maling.

Dear rindu,

Seandainya saja pertemuan tidak pernah ada, dan pengharapan itu hanya ditujukan kepada kepastian, mungkin kamu tidak menderita begini. Salah merekakah? Bukan. Tidak ada pertemuan yang terjadi begitu saja. Tidak ada harapan yang tidak berujung, meskipun ujung itu, maaf, adalah kematian.

Ah.

Sepertinya aku bukannya menenangkanmu, malah makin membunuhmu. Maafkan aku. Jangan musuhi aku, rindu. Aku ingin tetap menjadi sebagian dari kamu - setidaknya di hatinya. Kamu tentu tahu siapa yang aku maksud. (Sekarang pipiku merona. Haha. Duh. Malu.)

Selamat malam, rindu. Banyaklah beristirahat. Kenakan selimut flanel biru itu. Tutup jendela kamar. Banyak nyamuk malam ini. Cobalah berhenti merindu sejenak. Semuanya mungkin tidak berakhir baik-baik saja seperti kata mereka. Tapi setidaknya semuanya akan berakhir nanti.

Peluk cium untukmu.

P.S. Oh aku hampir lupa menyampaikannya. Cinta kirim salam. Aku harus bilang apa?

cinta

Mungkin cinta itu semacam sebuah bintang yang jatuh dari langit ketika kita sibuk menerjemahkan sebuah rasa yang indah namun asing.

Atau cinta adalah bunyi angin yang sepoi, yang anehnya dapat didengar oleh telinga betapa pun gemuruhnya suara hati.

Ada kalanya cinta itu seperti kerikil. Kecil, namun mampu membuat kita jatuh. Tanpa luka. Dan kita menikmati “kecelakaan kecil” seperti itu.

Cinta itu mungkin sebutir debu yang membuat mata sulit melihat dengan jelas. Dan kadang membuat mata merah meradang.

Kalau cintaku tidak dapat membeli hatimu, mungkin karena cintaku terlalu murah. Atau malah mungkin terlalu mahal harganya.

Penghargaan dan penghormatan terbesar untukku adalah ketika rasa cintaku dibalas dengan rasa cinta.

July 6, 2012

percakapan di siang hari

siang readers. kali ini gue ngga mau berpuitis kaya postingan tadi pagi. gue cuma mau ngeshare apa aja tadi yang gue lakuin. cekidooooot.

so, abis ngepost posting sebelum ini sekitar jam 10an lebih, gue capcus mandi mau registrasi di lia. gue berangkat dari rumah sekitar setengah 12 lewat dikitlah, dan sampe sana jam setengah satu. gue langsung aja liat pengumuman gue ini naik apa enggak, dan alhamdulillahnya naik. so tanpa melirik kesana kemari mencari alamat *eh*, engga engga, maksud gue tanpa buang-buang waktu gue langsung aja masuk ke loby dan langsung dihadang pak satpam si penjaga pintu, buhbuh agaknya selama tiga tahun gue jadi anak lia ngga ciren banget sama satpam yang satu ini. agaknya sih satpam baru gitu. trus si satpam bilang gini:

satpam : (seperti biasa gue selalu dipanggil mba) "mba, mau apa?"
si cantik : "mau registrasi pak, eh mau daftar ulang (gue perjelas dengan bahasa daftar ulang)"
satpam : "oh yaudah mbanya ngambil tiket antrian dulu trus tunggu dipanggil ya" trus si pak satpam ngasih gue tiket antrian bertuliskan nomor 007
si cantik : "oh makasih pak" dan gue ngambil tiket itu dari tangan si pak satpam dan nyelonong keluar ngeliat pengumuman yang lain.

dan setelah gue ngeliat pengumuman temen-temen gue yang daftar di lia kartini juga, gue kembali masuk lagi ke dalem. ngeliat antrian duduk agaknya masih banyak banget dan didominasi oleh ibu-ibu dan emba-emba yang gayanya lebih dewasa dari gue, gue nyelonong lagi keluar duduk di luar.

ah diluar gue ngga ngapa-ngapain dan setelah gue melirik di balik kaca transparan yang membatasi antara luar dan dalam ternyata ada bangku yang bisa didudukin, akhirnya gue putusin gue masuk aja ke dalem biar ngga kaya orang gila diluar bengong aja takutnya ayam tetangga mati. eh di dalem ada temen sd gue dulu, elisa, katanya sih dia mau tes nanti jam 2. dan setelah bersapa sedikit, dia pamit keluar. oke gue persilakan. trus gue menuju bangku yang bisa didudukin. huhh lega gue bisa duduk di ruangan ber-ac karna emang udara di luar tadi panas pake banget. ngga lama dari gue meletakkan pantat disitu ibu-ibu sama anak laki-lakinya bilang ke gue kaya gini :

ibu : (masih dalam sebutan mba) "mba, bisa geseran dikit ngga?"
si cantik : "oh iya bu" sembari geser pantat gue biar ibu itu dan anak laki-lakinya bisa duduk juga
ibu : "mba mau apa?" ibu itu melanjutkan pertanyaannya ke gue
si cantik : "oh ini bu, saya mau registrasi" gue jawab tanpa nanya balik ke ibu itu.
ibu : "oh gitu. mba sma mana?"
si cantik : "saya di Al-Kautsar bu"
ibu : "owh gitu..... mba naik kelas tiga ya?"
si cantik : "enggak kok bu, baru masuk."

terputuslah percakapan antara gue dan si ibu. gue ngecek sms dari devi, trus gue bales tuh sms. udah gitu gue ngeluarin student card gue yang mirip atm karena laminatingnya setebel kartu atm.
eh agaknya si ibu dan anak laki-lakinya yang notabenenya masih baru alias murid baru di lia, memperhatikan student card gue dan nanya lagi ke gue.

ibu : "itu kalo udah jadi anak lia dikasih kaya gitu ya?" nunjuk student card gue yang mirip atm
si cantik : "iya bu nanti dibuatin kaya gini" sambil nunjukin kartu gue
ibu : "emang mba udah berapa lama belajar disini?"
si cantik : "udah tiga tahun bu."
ibu : "wah lama juga ya. udah pinter dong bahasa inggrisnya?"
si cantik : "yah lumayan lah bu"
ibu : "udah lancar conversationnya dong?"
si cantik : "ya lumayan juga bu, tapi belum hebat."

terputus lagi percakapan gue dengan si ibu karna itu nomor antrian udah nomo 003, berati bentar lagi gue. enggak lama dari itu gue dipanggil. trus gue pamit sama si ibu yang baru gue kenal itu.
si cantik : "saya duluan ya bu."
ibu : "oh iyaiya."

blablabla setelah gue ngadep sama emba-emba administrasi, gue dikasih kuitansi dan beranjak ke kasir. udah gitu gue ngambil buku dan capcus pulang. eh pas baru keluar pintu, gue ngeliat temen sd gue yang sekolah di spanda dan sekarang jadi anak smalan, lutfi, trus dia juga ngeliat gue dan nyapa gue,

lutfi : "eh azura."
si cantik : "eh lutfi. masuk mana fi?"
lutfi : "gua masuk 9."
si cantik : "bukan, maksud gue masuk level berapa?"
lutfi : "gua baru daftar, trus masuk in-1. lo?"
si cantik : "gue udah lama sih disini, udah in-2"
lutfi : "lo masuk mana?"
si cantik : "gue masuk al-kautsar fi."
lutfi : "oh gitu, eh gua duluan ya."
si cantik : "oh iyaiya."

dan setelah melakukan percakapan pendek itu dengan si lutfi, gue capcus ke aluya beniat beli minum. eh pas gue liat di etalasenya ada kue sus, gue ngga jadi beli minum malah beli sus 3 biji. trus gue beli dan dibungkus aja makan dirumah. gue bayar di kasir, pas cek dompet uang kecil gue ntar ngga cukup buat naik ojek ntar ngga ada susuk dan akhirnya gue memutuskan bayar dengan selembar uang warna biru yang tadi pagi dikasih mama. udah gitu gue capcus balik deh.

gue jalan sendiri ke halte cepe, dan ngga lama gue nyampe halte cepe langsung ada bis ijonya lagi ngetem. tanpa basa-basi langsung naik deh gue. eh pas di dalem bis gue ketemu lagi dengan temen sd gue dulu, indah, yang notabenenya anak al-kautsar juga. trus gue nyapa indah.

si cantik : "eh indah. mau kemana ndah?"
indah : "(sambil senyum) ini mau ke moka. lo masuk mana zur?"
si cantik : "gue al-kautsar. lo juga kan?" gue sebenernya udah tau dari pengumuman yang gue download waktu itu kalo si indah masuk kelas plus di aka.
indah : "iya. lo kelas mananya?"
si cantik : "gue masuk kelas unggulnya ndah."
indah : "owh gitu"
si cantik : "oya besok bawa apa aja ya ndah?"
indah : "ya ngga bawa apa-apa lah, kan cuma pembagian kelompok."
si cantik : "owh gitu..."

ngga lama dari itu bis ijo nyampe depan moka dan si indah pun bilang.
indah : "gua duluan ya zur."
si cantik : "iyaaa ndah."


hmmm...... hari ini gue ketemu tiga temen sd gue dulu yang semuanya sekelas gue semua, kecuali lutfi. tapi gue sekelas kok sama lutfi waktu kelas 3 sd.
elisa sama indah emang temen main gue waktu sd. sekelas sama gue. waktu sd main ke taman deket rumah indah di puri way halim trus makan bakso malang sama temen-temen sd yang lain sampe sore dan bingung mau pulang naik apa. trus waktu sd juga gue sering main ke rumah elisa bareng triani dan lain-lain. akrab banget dulu sama adeknya elisa, sama mamanya juga akrab. malah waktu itu pas elisa ulang tahun, gue ditraktir makan di rumah kayu rame-rame sama temen sd yang laen.
kalo lutfi, dia temen gue waktu kelas 3. deket banget dulu itu. inget pas pelajaran agama lagi ujan deres trus mati lampu di sekolah. kan dia bawa sarung akhirnya kitaorg sarungan saking kedinginan :D hahaha lucu banget kalo nginget yang itu.

well, ternyata temen-temen sd gue ngga banyak berubah wajahnya dari sd dulu. setidaknya masih ciren sama gue alhamdulillah banget. oke karna kita sama-sama lia kartini juga, kita masih bisa keep on touch each other kan? :)


teruntuk senyum

A smile costs nothing but gives much. It enriches those who receive without making poorer those who give. It takes but a moment, but the memory of it sometimes lasts forever. None is so rich or mighty that he cannot get along without it and none is so poor that he cannot be made rich by it. Yet a smile cannot be bought, begged, borrowed, or stolen, for it is something that is of no value to anyone until it is given away. Some people are too tired to give you a smile. Give them one of yours, as none needs a smile so much as he who has no more to give.
- Unknown
Kepada senyum, yang kabarnya bisa membuat itik buruk rupa menjadi cantik jelita. 

Dear senyum,
Bagaimana rasamu hari ini? Manis? Getir? Masam? Ah, apa pun rasamu itu lebih baik dari bibir yang melengkung ke bawah.

Begini. Aku menyuratimu hari ini karena aku butuh alasan untuk tersenyum. Salah ya? Seharusnya kamu adalah penyebab bahagia itu datang. Begitu yang aku baca kemarin, entah di mana.

Kamu jangan gedhe rumangsa dulu. Aku sendiri berpendapat, hanya manismu saja yang mengundang bahagia. Sementara bagianmu yang pahit malah mengundang rasa bersalah. Dan rasa asammu bisa membuat belimbing wuluh rendah diri. Dan untuk membuatnya enak lagi, butuh kamu yang banyak sebagai bahan manisan. Caranya? Duh. Nanti kamu tanyakan pada orang lain saja ya? Aku tidak pandai mengolah makanan. Jangan katakan itu pada calon suamiku nanti. Siapa pun orangnya.

Senyum,
Kamu pernah dengar tentang “Hukum Ketertarikan”? yang bunyinya seperti ini: Kalau kita menarik pikiran yang baik pasti yang datang hal yang baik juga. Begitu pun sebaliknya. Dan tanpa kamu, mana mungkin ada pikiran baik yang sudi duduk di dalam kepala untuk berbincang menikmati secangkir teh aroma melati? Hidup adalah cermin. Yang terbaik akan terjadi saat kita tersenyum.

Sebenarnya, senyum, manusia banyak memiliki alasan untuk menangis daripada tersenyum. Lebih banyak sebab untuk memalingkan muka dari kamu, ketimbang memasang kamu di wajah kami. Termasuk wajahku. Karena pada dasarnya manusia itu jarang bersyukur.

Lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil.
Lebih banyak yang kesepian daripada yang hatinya hangat.
Lebih banyak yang sendiri daripada yang berdua.
Lebih banyak yang tidak punya daripada yang berkelimpahan.

Kamu tentu paham betul tentang hal ini. Ada koran, ada berita di televisi, ada Twitter. Ah. Twitter. Saksi bisu yang bersuara tentang betapa sukarnya bersyukur.

Dear senyum,
Aku mau minta tolong: Ingatkan aku selalu padamu setiap kali aku ingin menangis. Boleh? Aku mau mendatangkan hal-hal yang baik dalam hidupku, bahkan yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Kamu adalah asisten semesta. Tolong bantu dia untuk membantu aku. Terima kasih sebelumnya.

Sudah dulu ya, senyum. Ini aku sudah seperti gila tersenyum terus dari tadi karena kamu. Haha. Tapi lebih baik dianggap gila sih, daripada terlihat waras tapi hancur di dalam?

Oh ya. Kamu boleh datang kapan saja. Saat aku bicara, saat aku mengunyah makanan, saat aku dikritik dan dicerca, bahkan saat aku tidur. The ultimate privilege is yours, senyum. Bibirku siap menerimamu kapan saja. Haha. Koq jadi terdengar ambigu ya kalimat tadi? :D

Aku sayang kamu. Tolong terus ganggu aku.

tentang "kita"

Aku ingin bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Tentang “kita”. Tentang pertemuan dan perpisahan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan. Tentang sedikit keterpaksaan, secercah kesenangan, dan setumpuk kekecewaan.

Entah harus dimulai dari mana, karena seperti kataku tadi, segalanya berjalan tanpa keinginan hati dan rencana yang seharusnya ada dalam kepala. Kita seperti sepasang robot yang menjalani karena tidak ada pilihan lain. Sepasang boneka kesepian yang mencari cinta, namun terantuk tembok kekecewaan yang membuat memar kening dan hati kita.

Katamu waktu itu, mungkin saja perjumpaan kita adalah jembatan nasib yang akan membawa kita kepada perjumpaan kita dengan manusia-manusia lain. Jembatan itu patah sekarang, sebelum kita sampai pada tujuan. Tunggu. Mungkin lebih tepat jika aku katakan bahwa jembatan itu terbakar. Tidak sampai hangus, tapi mampu membuat kita berbalik arah dan kembali berdiri di tempat yang lama. Itu lebih baik, daripada berdiri di atas jembatan itu dan terus berdiri saja tanpa berjalan kemana pun, bahkan hanya untuk satu langkah kaki.

Lalu, untuk apa aku bercerita tentang “kita”. Ya, aku sadar. Tidak semua cerita berakhir bahagia, yang baik pelaku maupun pembacanya menghela nafas lega di akhir cerita. Dan cerita tentang “kita” ini pun menggantung, seperti Taman Babilonia. Indah, namun menyedihkan. Berakhir dengan nafas tertahan.

Enam bulan lima belas hari. Sesingkat itu cerita tanpa alur ini terbentuk. Mungkin akan ada kelanjutannya jika… ah, sudahlah. Untuk apa meneruskan keterpaksaan?

Selamat pagi. Semoga kamu baik-baik saja.

July 5, 2012

Mantan Mana Mantan?

Ini bukan tentang kamu, tapi tentang orang lain. Jadi jangan menganggap ini sebagai sebuah “kode” atau apa pun istilahnya. Tidak semua yang aku tulis itu mengenai kamu, tapi bisa juga iya.

Aku sedang kangen pada seseorang di masa lalu. Dia mirip dengan kamu, hanya saja beberapa bulan lebih muda dan jauh lebih perhatian. Dulu awalnya, aku tidak tertarik padanya - tapi sepertinya aku kualat. Dia akhirnya menjadi semacam candu buatku. Sampai akhirnya…

Seleranya dalam berpakaian mirip kamu. Cara bicaranya, kegilaannya terhadap suatu benda, jenis musik kesukaannya, cara berjalannya, semua mirip kamu. Lalu pertanyaan-pertanyaannya yang aku anggap berlebihan ketika itu (dan masih sih sebetulnya sampai sekarang) juga mirip kamu. Latar belakang keluarganya, pendidikannya, teman-temannya semua mirip kamu.

Aneh ya?

Iya. Aku juga berpikir begitu. Hanya saja saat ini aku kangennya sama dia, bukan sama kamu - meskipun kalian berdua sangatlah mirip. Kalau aku tunjukkan fotonya, kamu pasti juga akan bilang begitu.

Tidak. Aku tidak sedang jatuh cinta. Aku hanya sekedar kangen sekarang. Boleh kan? Kangen itu jadi nama band saja boleh, masak jadi nama perasaan tidak boleh?

Kalian berdua memang benar-benar mirip. Sungguh. Yang membedakan, seperti kataku tadi, hanya usia (yang hanya terpaut beberapa bulan) dan besarnya perhatian kalian kepadaku.

Nama kalian pun sama.

Uhm. Kamu benar. Memang kamu kok laki-laki yang aku maksud. Aku kangen kamu yang dulu.

Kita memang akhirnya berpisah, karena kamu yang sekarang bukan lagi kamu yang dulu.

Sudah hilang kan rasa penasaran kamu? Ah. Itu mungkin hanya perasaanku saja sih. Kamu tidak mungkin penasaran. Toh rasa itu sudah tidak ada. Ya kan?
Sampaikan saja salamku untuk kamu yang dulu kalau nanti kamu bertemu dia. Kamu yang aku pacari beberapa bulan yang lalu, sampai kemudian perhatian kamu ke aku berubah. Kamu, eh maksudku dia, harus tahu bahwa aku kangen dengan lelaki yang seperti itu.

Selamat malam, mantan.
Aku mencintai sebelah hatimu
kalau tak salah yang sebelah kanan
yang pernah aku tinggali selama sepuluh bulan
yang kuncinya sudah aku kembalikan padamu.

Aku mencintai sebelah hatimu
kalau tak salah yang sebelah kiri
yang tidak pernah aku masuki barang sedetik
yang kuncinya sampai sekarang masih dipegang perempuan itu.
Ingin sekali menangis saat ini rasanya,
tapi tidak bisa.
Ingin marah sekali saat ini rasanya,
tapi pada siapa.
Ingin bertanya saat ini rasanya,
tapi untuk apa.
Ingin melupakan saat ini rasanya,
tapi bagaimana.

surat kepada sebuah rasa

Dear rasa dicintai,

Aku tidak rindu rasa strawberry, coklat, vanilla, keju, mangga, jambu, atau rasa apa pun. Kecuali rasa kamu dan rasa dirindukan. Sesuatu yang tidak bisa aku beli di mana pun juga, baik eceran maupun grosiran.

Kapan terakhir aku mencicipimu? Tiga minggu yang lalu? Empat bulan yang lalu? Atau mungkin bertahun-tahun yang lalu?

Dear rasa dicintai,

Aku menulis surat ini sambil menangis. Aku sangat sedih dan putus asa. Bahkan mungkin saat ini aku tidak lagi bisa memberikan rasa itu kepada diriku sendiri. Rasa dicintai. Pahit. Terlalu pahit kenyataan yang ada di depanku. Aku sungguh terpuruk, dan tidak bisa memberikan rasa lain kepada diriku sendiri kecuali rasa dibenci.

Dear rasa dicintai,

Jika semua manusia berhak untuk bahagia, maka saat ini aku sedang kehilangan hakku itu. Kemana aku harus menuntut kembali hakku itu? Kepada siapa? Sedangkan banyak telinga yang terbuka, namun tidak mau mendengar baik jeritanku, tangisanku, bahkan bisikanmu?

Kakiku lelah. Tapi jiwaku lebih lagi.

Dear rasa dicintai,
Pulanglah. Tidakkah kamu rindu akan rasa mencintai yang selalu aku berikan kepadamu dengan ikhlas? Atau mungkin kamu muak dengan rasa mencintaiku? Terlalu banyak dan terlalu murahkah? Muntahkanlah semuanya jika kamu mau. Sini, aku pinjamkan jariku yang penuh luka untuk mengorek kerongkonganmu jika kamu tidak sanggup untuk memuntahkannya. Ini baskomnya. Ini handuknya. Kamu tinggal membuangnya, lalu kita mulai lagi semuanya dari awal.

Rasa dicintai yang sedang entah di mana dan mengapa,

Aku hancur. Tolong kembali. Aku memohon padamu sampai lututku memar dan tulang lututku mengintip tanpa malu.

Cintai aku. Itu saja.

(ini bukan tentang patah hati)

Kehilangan adalah sebuah nafas yang terhembus,
lalu sebuah nafas yang terhirup.

Kehilangan adalah air laut yang naik ke awan,
lalu diturunkan menjadi hujan.

Kehilangan adalah cinta yang memberi,
lalu cinta yang mengambil.

Kehilangan adalah karena kepemilikan,
dan kepemilikan adalah awal kehilangan.

bedanya aku dan kamu

Ada orang yang nyaman dengan kesedihan.
Bukan aku orangnya.
Ada orang yang nyaman dengan masa lalu.
Bukan aku orangnya.

Jika aku menulis tentang kesedihan,
itu aku sedang berusaha melepaskannya.
Jika aku menulis tentang hari kemarin,
itu aku sedang belajar darinya.

Ada orang yang nyaman dengan kesedihan.
Ada orang yang nyaman dengan masa lalu.
Ada orang yang tak mau meninggalkan semua itu.
Kamu.

sepatu cinderella;sebuah perenungan

Berkali-kali seorang teman mengingatkan bahwa, “Pasangan kita adalah cerminan siapa kita.” Dan banyak juga orang yang percaya pada “opposite attractions”.

Lalu yang mana yang benar?

Saya, dengan kepala dan pemikiran saya sendiri, menganggap keduanya benar. Begini, kita memang cenderung untuk tertarik pada sesuatu yang berbeda. Kalau kita pendiam, kita suka orang yang mampu berbicara tanpa henti karena menurut kita, mereka itu sangat menghibur. Kalau dalam tubuh kita tidak mengalir darah seni sama sekali, kita kagum pada orang yang sangat berjiwa seni.

Tapi itu ketertarikan. Dan ketertarikan bukanlah cinta. Ketertarikan itu menurut saya hanya kekaguman, dan kekagumana biasanya tidak akan berlangsung lama. Selalu akan ada orang lain yang mempesona dengan keunikannya, karena Tuhan Maha Kreatif dalam menciptakan kita.

Dan kata-kata teman saya itu, menurut saya, bukan melulu masalah fisik - namun lebih ke masalah emosional dan intelektual. Orang yang cerdas akan malas membina hubungan dengan orang yang bodoh, karena dia butuh teman bicara yang sepadan. Orang yang tidak suka drama, akan gerah bila pasangannya suka mengumbar masalah pribadi di status Facebook, misalnya.

Jadi kalau kamu mengeluhkan tentang pasanganmu yang telah bersamamu selama sekian lama, coba berkacalah lagi: Apakah dia sebenarnya cerminan dari dirimu sendiri?

Orang yang suka selingkuh jika berpasangan dengan orang yang juga selingkuh, akan awet. Orang yang takut berkomitmen akan senang-senang saja bersama orang yang memang tidak mau berkomitmen. Itu hanya sebagian contoh kecil.

Jadi kalau kita ingin pasangan yang lebih baik (dan “baik” menurut kita itu sifatnya relatif), jadilah manusia yang baik dulu. Ingin punya pasangan yang cerdas? Jadilah cerdas. Banyak membaca, banyak berpikir, dan bukan hanya pandai berbelanja atau “khatam” riwayat kehidupan Kris Dayanti, misalnya.

Tapi kalau kamu adalah orang yang setia, dan pasanganmu selingkuh - lalu bagaimana? Ya putuskan saja. Kamu tidak nyaman dengan hubungan itu kan? Dan orang yang setia berhak memiliki pasangan yang setia. Orang yang tidak jujur pantas untuk dibohongi. Ini lebih dari sekedar karma. Ini masalah hukum tabur-tuai. Give and take thing.

Setiap kali kamu merasa timpang dalam suatu hubungan, lihatlah ke sepatumu. Kamu tidak mungkin mengenakan sepatu yang haknya 17 cm di kaki kiri dan sepatu renang karet di kaki kanan kan? Yang namanya “pasangan” itu harus sama. Sama tinggi (sekali lagi, ini bukan masalah fisik), sama indahnya, sama tujuannya.
Sebuah sendal jepit tidak dapat berpasangan dengan sebuah sepatu boot.


Kalau kamu merasa kamu benar-benar jatuh cinta dengan seseorang yang sebenarnya tidak sepadan denganmu dan kamu tidak dapat meninggalkannya, downgrade dirimu sendiri. Karena downgrading itu lebih mudah dan lebih memudahkan dibandingkan dengan upgrading. Kamu tidak dapat menuntut orang lain untuk meng-upgrade dirinya, tapi kamu bisa men-downgrade dirimu sendiri. Butuh cinta yang sangat besar untuk urusan downgrade dan upgrade ini. Dan sebenarnya kurang alamiah. Sesuatu yang tidak alami biasanya tidak akan bertahan lama.

Ingat cerita Cinderella? Dia harus merubah dirinya untuk dapat bersama Sang Pangeran, dan bukan Sang Pangeran yang merubah dirinya untuk bersama Cinderella - meskipun mereka sama-sama mencintai. Karena cinta bukan hanya butuh kesempatan untuk bersama, tapi juga kemungkinan. Jika tidak mungkin, mengapa harus memaksakan diri?

(Sementara, kita tidak tahu berapa lama sebenarnya Cinderella bersama Sang Pangeran menikah, dan apakah mereka kemudian bercerai. “Selamanya” itu menurut saya hanya cara sang penulis, untuk mempercepat ending cerita).

Untuk cinta, apa yang tidak akan kita lakukan - selama itu memang cinta, dan bukan hanya ketertarikan yang sifatnya sementara? Tapi tetap ingat, hidup ini bukan dongeng. Kita tidak punya Ibu Peri seperti Cinderella yang dapat merubah kita hanya dalam satu jentikan jari.

Jadi, berapa hargamu dan berapa harga yang pantas untuk pasanganmu?

July 4, 2012

Dear You

Dear You, I didn’t plan to write you this letter this soon. Definitely not now, not today. You have heard enough from me, and I don’t want to bother you with mushy words wrapped in a fancy group of sentences on a nowhere-near from masterpiece piece of paper. However, once my eyes glanced to a blank piece of virtual page on my laptop’s screen, I felt like writing this for you. Telling you the words I barely had said to you. The usual normal words like an amateur conversationalist used to say. Surely my words are dull, and I have a feeling that you’ll end up sleeping in front of your computer reading this. Trust my intuition, my words are good.

Dear You, To be honest, I actually have no idea what to tell you in this letter. I just feel like writing for you. I’ve got no question to ask, no answer to hear from. You just inspire me, that’s all I can tell you. You may think it’s overrated, but hey, inspiration comes from everywhere, can’t I help it if this time it’s you who’s inspired me? You may not have realized it, but having you appreciated this new thing I’ve been doing for these 2 weeks provokes my thought. With your own way, that simple appreciation is fancy an encouragement for me. And I thank you for that.

Dear You, Sometimes I see myself as an occasional quitter, especially on something that’s quite new for me. I’m easily discouraged, easily demotivated. I’m not really the type who deals with negative feedback. That’s shallow, right? Thing is, I’m quite aware of that. So I look up on others to help me cope with this weakness I have. You may not know this, but you are one of those people I look up to, for this case in particular.

Dear You, It’s raining now. Rain is usually my biggest inspiration. Rain and everything it brings. Rain and everything after. But this time, it’s you. Rain can always wait. But I think it’s its turn now, I should stop before I talk too much. That’s right, I only talk, without even asking and wondering about you. Forgive me for being quite selfish here, I might not be the type of person who asks, but I believe that I’m the one who listens. So tell me, I’ll be listening to your story.

facts about me

  1. My name is Azura Nabila Putri
  2. My friends often call me azura, ara, zura, zure
  3. I'm a dreamer
  4. I'm not perfect person
  5. I can't live without God, Mama and Papa
  6. My zodiac is Scorpio
  7. I'm 167centimetres tall
  8. I have one brother and one sister
  9. I'm the oldest 
  10. I'm mix between Javanese and Lampungnese
  11. I ever studied at Aisiyah B.A. Kinder Garten
  12. I ever studied at Al-Azhar Elementary School
  13. I ever studied at Junior High School 22 Bandarlampung
  14. I'm Al-Kautsar Senior High School student
  15. I love mathematic
  16. I'm not really good in english
  17. My english needs some improves
  18. I'm curious about something new
  19. I love swimming
  20. I love writing
  21. I love listening to the music
  22. I love singing in bathroom
  23. I love jogging
  24. I love chatting
  25. I love reading
  26. I love studying 
  27. I love watching TV
  28. I love eating
  29. I love sleeping
  30. I love browsing in internet
  31. I love cat and rabbit
  32. I love ice cream
  33. I love chocolate
  34. I can cook simple food 
  35. I like hanging out with my friends
  36. I like imagining my dream and myself in the future
  37. I like spending much time when I'm taking a bath
  38. I like writing email to my email pal
  39. I often oversleep
  40. Doctor and enterpreneur wannabe
  41. Wannabe Gajah Mada University coed
  42. Wanna explore my knowledge at Oxford University
  43. Wanna marry with my beloved prince in the future
  44. I hate waiting
  45. Hard to move on
  46. I hate liar and person who lies with his/herself

July 3, 2012

Epilogue; Anniversary being Hurted

Today, one year ago.

Do you remember? Tonight, one year ago, we were playing one of the most dramatic scenes in our lives. I still remember how I was faced with fear, tears, anger, agony and painful thought of not knowing what to do after I knew everything that night. I still remember your sad and guilty expression that framed your teary eyes as you softly whispered that “sorry” to me. I still remember how scared I was with the thought of how I probably would never live my days the same way again. I thought I wouldn’t be that strong, I thought I was that weak, and probably I was. I remember how I finally tried to accept everything. I remembered how I finally decided to enjoy a miserable period until the pain would slowly be no longer there. The period full of suffering and struggling over fighting my love in vain and vanity.

There’s a period after a painful break-up when I learn not only about grief, but also the beauty and pain of time’s passing. These things have been defined through my experiences and expanded into the point of view I see today and the hope I continue to keep. The period that, although painful, has helped me become less selfish and naive. Because of everything I have been put through since that day, I have become stronger and more confident. You are the person who hurt me the most so far, but you are also the one who helped me become the person I am today. And I might thank you for that.

I guess I was formed into what I am in a year by you. Because of you I used to find myself constantly bothered by almost every little thing. I was such an insecure wimp because of you. I was afraid to stay in love with you, since I didn’t know how far I would go to get you back for casting me aside. But then again, what was I supposed to do after what you did to me? I was nobody but a rambling fool over a complicated break up.

People say that if we truly love someone, then we have to show it in a number of ways. One way is to put their needs and considerations before our own. Unfortunately, in my case this thing many times has put me in the position of having to “let you go”. The moment when we love someone on the level that we cannot let them go is an act of imprisoning ourselves. While the moment when we can truly let them go, we open our heart to more love than we have ever imagined. That’s how I let you go, with reason. And the reason is love. Love is not always easy. Sometimes it is not fair either. To keep you close when it is hurting you and to keep you around when you can spread your wings elsewhere are selfish. I have always wanted to love you enough to give you the chance to build your own wings. Then hoping and praying that you would one day use those wings to fly back to me. But you never came back. So I stop hoping. I let you go because I know for sure that holding on will only lead both of us to more suffering. So I stop praying.

I’ve been trying my hardest to let you go, but truth be told, I knew you were never fully mine in the first place. Deep down, I somehow still feel that when the person I love is the person I am actually meant to end up with, I won’t have to be made to let you go. But I let you go, with reason. I let you go because love is never to be wasted. Because I truly loved you once and I still care about you deep down, I pray for you to always get what you want even if it doesn’t include me. I’ve been a life that tries to get through hardships, that smiles when encumbered by tears. I’ve been a life not for all those romantic and poetic reasons but for finally letting go of you and the pain you gave me. You’re the part of pain that I used to love and the pain is the part of you that I should let go.

Life is actually too short to let go of people whom we truly care about, but I believe that letting go is not really forgetting, it’s remembering without fear. Letting go of something we’ve been holding on for long doesn’t mean we stop caring, it just means we can’t fix it. Letting go is not to regret what was or wasn’t, or what might have been; it is to learn, grow and prepare for the future. When letting go was the only logical step for me to take, little did I know that my heart would still tell me that we should have continued holding on. My head might have said something, but in the end my heart would overrule. I let you go when I finally realized that whatever I was holding on to was stopping me from seeing what I really wanted. I knew it was time to let go when I started to think too much instead of to feel enough.

My heart is still with you, but the reality calls for letting you go. I know in my heart that you might never leave, that you will always be inside of me, even if it is just a memory. There’s always a part of me that holds on.

Today, it’s been exactly one year. One year of forgetting, forgiving, and fighting. Happy Anniversary, for both of us.


July 3, 2012
― an illumine’s ex

belajar mandiri

(mungkin) gue bisa dibilang gadis kecil yang (lumayan) mandiri. ya gimana engga secara gitu gue kan anak pertama, harus bisa (dan dituntut) ngasih contoh untuk dua orang adek gue (yang super nyebelin). hmm dari sd udah kebiasaan gitu sendirian kalo mau ngapa-ngapain. gue terakhir ini itu ditemenin dan diurusin sama mama soal yang ngga penting-penting banget seperti mandi dan makan waktu kelas 3 sd. tapi untuk sekarang dan seterusnya gue berusaha mandiri kok. ngga kaya dua adek gue (yang super nyebelin) itu, mandi aja musti disiapin semua, makan kudu diambilin. lha kalo salsa mending masih kecil gitu emang belum bisa untuk melakukan semuanya sendiri, lha fasa itu udah segede babon monyet aja apa-apa kudu diambilin, emang ngga punya kaki sama tangan apa buat ngelakuin sendiri..

sungguh beda jauh sama gue, walaupun dulu dibawah kelas 3 sd gue sangat dan lebih-lebih dimanja-manja sama mamapapa sodara-sodara, tapi gue bisa tuh belajar mandiri :p. sekarang aja kalo ngurusin les, ikut tes dan segala macem, gue lebih seneng sendiri. macem registrasi atau pembayaran gue lebih seneng sendiri (lumayan kalo ada sisa bisa buat gue kan, xixixixi). browse di toko buku aja gue biasa sendirian, bisa bebas mau ke arah mana, mau nyari apa, mau pulang jam berapa, kan itu suka-suka gue. gue berangkat dan pulang les aja lebih seneng sendiri. dari rumah gue ke tempat les gue yang jarak dan waktunya lumayan jauh dan lama, ibarat dari sabang sampe merauke, gue biasa sendiri. gue pengen aja gitu ngerasain susahnya orang-orang yg hanya hidup sendiri, atau orang-orang yg merantau.

tapi walaupun gitu gue ngga nolak kok untuk ditemenin. kalo sendiri itu emang sih ngga ada temen ngobrol, but that's no problem. entah kenapa gue lumayan bisa nikmatin kemandirian gue sendiri. kalo liburan aja dirumah gue lebih suka buat breakfast,lunch sama dinner sendiri, sekalian belajar masak, ngerasain pas atau engganya bumbu dan embel-embelnya dimakanan gue..

hmm ngomongin soal masak-memasak, kadang gue heran, terutama cewe ini ya, ada gitu yg ngga bisa masak tapi malah membanggakan dirinya dengan kemampuan ngga bisa masaknya itu. yang ini itu musti dilayanin pembantu atau orang lain. ini masak lhoo, gue sebagai perempuan yang dikemudian harinya akan menjadi seorang istri dan seorang ibu aja kudu bisa masak, setidaknya bisa buat sarapan yang simple buat dimakan. masa iya nanti kalo udah gede trus punya suami dan punya anak masa semuanya yang ngurusin pembantu, nanti jadi suami sama anak pembantu dong kalo ibunya ngga bisa ngurusin. malu aja gitu gue sama diri sendiri kalo ngga bisa apa-apa. gue ada keturunan jawa, dan demikian orang jawa yg selalu seregep ngelakuin sesuatu, bakal dibilang apa gue ini kalo ngga bisa apa-apa. well that's why gue mulai belajar mandiri ngelakuin hal-hal yang bisa gue lakuin sendiri, ngga ngerepotin orang tua ataupun oranglain. bagi gue melakukan sesuatu macem masak-memasak, lebih puas dan bangga aja gitu kalo dilakuin sendiri. bangga dengan kemampuan sendiri, jangan bangga dengan hasil dan buatan orang lain.

Flickr