Malam ini mungkin malam terakhir aku melibatkan perasaanku saat
berbicara denganmu. Semoga besok aku sudah kuat untuk mengangkat hatiku
dari atas cawanmu yang kosong.
Kamu tidak pernah menyakitiku. Ingat itu. Aku hanya kecewa atas kebodohanku sendiri. Ini semua adalah salahku, dan bukan salah siapa pun. Termasuk kamu. Kamu juga tidak perlu meminta maaf seperti tadi, karena itu akan membuatku semakin sedih karena telah merepotkanmu, sekaligus mencoreng arang di atas mukaku sendiri. Saat ini aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan permen yang tak sempat dikecapnya. Dan aku tidak boleh menangis, karena permen itu sebenarnya tidak pernah ada di tanganku. Entah siapa yang bermimpi sebenarnya: Aku, kamu, atau permen yang tadinya sepertinya ada dalam genggaman tanganku.
Aku menahan airmataku usai kita berbicara tadi. Aku merasa tertampar oleh kenyataan bahwa terkadang ada orang yang tidak siap untuk menerima ketulusan. Dan aku mungkin tidak lagi punya kesempatan untuk berbicara empat mata denganmu, untuk mengatakan semua yang ingin aku katakan - karena aku mau membatasi diriku sendiri untuk itu dan memberi diriku sedikit harga. Padahal ini sudah ada dalam kepalaku sejak siang tadi. Tapi ya, sudahlah. Aku ikhlas.
Atas nama kekecewaan, mungkin besok kamu tidak akan lagi mengenaliku. Anggap saja kita ini sepasang manusia asing yang hanya pernah saling mengenal dalam mimpi semata. Jika memang itu mimpi, aku mengutuk detik di mana aku terjaga.
Menjadi kamu itu mungkin tidak mudah, namun menjadi seorang aku pun itu hal yang sulit. Namun sudahlah, seperti kataku tadi. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas - karena mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu pada musim yang salah.
Terima kasih telah menjadi pemahat senyumku sepuluh hari ini. Jika saat ini aku kembali lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, aku percaya bahwa sebentar lagi akan ada orang lain yang mau menghangatkan hatiku, seperti halnya aku menghangatkan hatinya. Aku masih percaya pada ketulusan. Betapa pun. Karena hanya itu satu-satunya yang aku punya. Allah tahu hatiku. Kamu boleh tanya Dia.
Kamu. Selamat pagi.
Kamu tidak pernah menyakitiku. Ingat itu. Aku hanya kecewa atas kebodohanku sendiri. Ini semua adalah salahku, dan bukan salah siapa pun. Termasuk kamu. Kamu juga tidak perlu meminta maaf seperti tadi, karena itu akan membuatku semakin sedih karena telah merepotkanmu, sekaligus mencoreng arang di atas mukaku sendiri. Saat ini aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan permen yang tak sempat dikecapnya. Dan aku tidak boleh menangis, karena permen itu sebenarnya tidak pernah ada di tanganku. Entah siapa yang bermimpi sebenarnya: Aku, kamu, atau permen yang tadinya sepertinya ada dalam genggaman tanganku.
Aku menahan airmataku usai kita berbicara tadi. Aku merasa tertampar oleh kenyataan bahwa terkadang ada orang yang tidak siap untuk menerima ketulusan. Dan aku mungkin tidak lagi punya kesempatan untuk berbicara empat mata denganmu, untuk mengatakan semua yang ingin aku katakan - karena aku mau membatasi diriku sendiri untuk itu dan memberi diriku sedikit harga. Padahal ini sudah ada dalam kepalaku sejak siang tadi. Tapi ya, sudahlah. Aku ikhlas.
Atas nama kekecewaan, mungkin besok kamu tidak akan lagi mengenaliku. Anggap saja kita ini sepasang manusia asing yang hanya pernah saling mengenal dalam mimpi semata. Jika memang itu mimpi, aku mengutuk detik di mana aku terjaga.
Menjadi kamu itu mungkin tidak mudah, namun menjadi seorang aku pun itu hal yang sulit. Namun sudahlah, seperti kataku tadi. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas - karena mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu pada musim yang salah.
Terima kasih telah menjadi pemahat senyumku sepuluh hari ini. Jika saat ini aku kembali lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, aku percaya bahwa sebentar lagi akan ada orang lain yang mau menghangatkan hatiku, seperti halnya aku menghangatkan hatinya. Aku masih percaya pada ketulusan. Betapa pun. Karena hanya itu satu-satunya yang aku punya. Allah tahu hatiku. Kamu boleh tanya Dia.
Kamu. Selamat pagi.
No comments:
Post a Comment