Berkali-kali seorang teman mengingatkan bahwa, “Pasangan kita adalah cerminan siapa kita.” Dan banyak juga orang yang percaya pada “opposite attractions”.
Lalu yang mana yang benar?
Saya, dengan kepala dan pemikiran saya sendiri, menganggap keduanya benar. Begini, kita memang cenderung untuk tertarik pada sesuatu yang berbeda. Kalau kita pendiam, kita suka orang yang mampu berbicara tanpa henti karena menurut kita, mereka itu sangat menghibur. Kalau dalam tubuh kita tidak mengalir darah seni sama sekali, kita kagum pada orang yang sangat berjiwa seni.
Tapi itu ketertarikan. Dan ketertarikan bukanlah cinta. Ketertarikan itu menurut saya hanya kekaguman, dan kekagumana biasanya tidak akan berlangsung lama. Selalu akan ada orang lain yang mempesona dengan keunikannya, karena Tuhan Maha Kreatif dalam menciptakan kita.
Dan kata-kata teman saya itu, menurut saya, bukan melulu masalah fisik - namun lebih ke masalah emosional dan intelektual. Orang yang cerdas akan malas membina hubungan dengan orang yang bodoh, karena dia butuh teman bicara yang sepadan. Orang yang tidak suka drama, akan gerah bila pasangannya suka mengumbar masalah pribadi di status Facebook, misalnya.
Jadi kalau kamu mengeluhkan tentang pasanganmu yang telah bersamamu selama sekian lama, coba berkacalah lagi: Apakah dia sebenarnya cerminan dari dirimu sendiri?
Orang yang suka selingkuh jika berpasangan dengan orang yang juga selingkuh, akan awet. Orang yang takut berkomitmen akan senang-senang saja bersama orang yang memang tidak mau berkomitmen. Itu hanya sebagian contoh kecil.
Jadi kalau kita ingin pasangan yang lebih baik (dan “baik” menurut kita itu sifatnya relatif), jadilah manusia yang baik dulu. Ingin punya pasangan yang cerdas? Jadilah cerdas. Banyak membaca, banyak berpikir, dan bukan hanya pandai berbelanja atau “khatam” riwayat kehidupan Kris Dayanti, misalnya.
Tapi kalau kamu adalah orang yang setia, dan pasanganmu selingkuh - lalu bagaimana? Ya putuskan saja. Kamu tidak nyaman dengan hubungan itu kan? Dan orang yang setia berhak memiliki pasangan yang setia. Orang yang tidak jujur pantas untuk dibohongi. Ini lebih dari sekedar karma. Ini masalah hukum tabur-tuai. Give and take thing.
Setiap kali kamu merasa timpang dalam suatu hubungan, lihatlah ke sepatumu. Kamu tidak mungkin mengenakan sepatu yang haknya 17 cm di kaki kiri dan sepatu renang karet di kaki kanan kan? Yang namanya “pasangan” itu harus sama. Sama tinggi (sekali lagi, ini bukan masalah fisik), sama indahnya, sama tujuannya.
Lalu yang mana yang benar?
Saya, dengan kepala dan pemikiran saya sendiri, menganggap keduanya benar. Begini, kita memang cenderung untuk tertarik pada sesuatu yang berbeda. Kalau kita pendiam, kita suka orang yang mampu berbicara tanpa henti karena menurut kita, mereka itu sangat menghibur. Kalau dalam tubuh kita tidak mengalir darah seni sama sekali, kita kagum pada orang yang sangat berjiwa seni.
Tapi itu ketertarikan. Dan ketertarikan bukanlah cinta. Ketertarikan itu menurut saya hanya kekaguman, dan kekagumana biasanya tidak akan berlangsung lama. Selalu akan ada orang lain yang mempesona dengan keunikannya, karena Tuhan Maha Kreatif dalam menciptakan kita.
Dan kata-kata teman saya itu, menurut saya, bukan melulu masalah fisik - namun lebih ke masalah emosional dan intelektual. Orang yang cerdas akan malas membina hubungan dengan orang yang bodoh, karena dia butuh teman bicara yang sepadan. Orang yang tidak suka drama, akan gerah bila pasangannya suka mengumbar masalah pribadi di status Facebook, misalnya.
Jadi kalau kamu mengeluhkan tentang pasanganmu yang telah bersamamu selama sekian lama, coba berkacalah lagi: Apakah dia sebenarnya cerminan dari dirimu sendiri?
Orang yang suka selingkuh jika berpasangan dengan orang yang juga selingkuh, akan awet. Orang yang takut berkomitmen akan senang-senang saja bersama orang yang memang tidak mau berkomitmen. Itu hanya sebagian contoh kecil.
Jadi kalau kita ingin pasangan yang lebih baik (dan “baik” menurut kita itu sifatnya relatif), jadilah manusia yang baik dulu. Ingin punya pasangan yang cerdas? Jadilah cerdas. Banyak membaca, banyak berpikir, dan bukan hanya pandai berbelanja atau “khatam” riwayat kehidupan Kris Dayanti, misalnya.
Tapi kalau kamu adalah orang yang setia, dan pasanganmu selingkuh - lalu bagaimana? Ya putuskan saja. Kamu tidak nyaman dengan hubungan itu kan? Dan orang yang setia berhak memiliki pasangan yang setia. Orang yang tidak jujur pantas untuk dibohongi. Ini lebih dari sekedar karma. Ini masalah hukum tabur-tuai. Give and take thing.
Setiap kali kamu merasa timpang dalam suatu hubungan, lihatlah ke sepatumu. Kamu tidak mungkin mengenakan sepatu yang haknya 17 cm di kaki kiri dan sepatu renang karet di kaki kanan kan? Yang namanya “pasangan” itu harus sama. Sama tinggi (sekali lagi, ini bukan masalah fisik), sama indahnya, sama tujuannya.
Sebuah sendal jepit tidak dapat berpasangan dengan sebuah sepatu boot.
Kalau kamu merasa kamu benar-benar jatuh cinta dengan seseorang yang sebenarnya tidak sepadan denganmu dan kamu tidak dapat meninggalkannya, downgrade dirimu sendiri. Karena downgrading itu lebih mudah dan lebih memudahkan dibandingkan dengan upgrading. Kamu tidak dapat menuntut orang lain untuk meng-upgrade dirinya, tapi kamu bisa men-downgrade dirimu sendiri. Butuh cinta yang sangat besar untuk urusan downgrade dan upgrade ini. Dan sebenarnya kurang alamiah. Sesuatu yang tidak alami biasanya tidak akan bertahan lama.
Ingat cerita Cinderella? Dia harus merubah dirinya untuk dapat
bersama Sang Pangeran, dan bukan Sang Pangeran yang merubah dirinya
untuk bersama Cinderella - meskipun mereka sama-sama mencintai. Karena
cinta bukan hanya butuh kesempatan untuk bersama, tapi juga kemungkinan.
Jika tidak mungkin, mengapa harus memaksakan diri?
(Sementara, kita tidak tahu berapa lama sebenarnya Cinderella
bersama Sang Pangeran menikah, dan apakah mereka kemudian bercerai.
“Selamanya” itu menurut saya hanya cara sang penulis, untuk mempercepat
ending cerita).
Untuk cinta, apa yang tidak akan kita lakukan - selama itu memang cinta, dan bukan hanya ketertarikan yang sifatnya sementara? Tapi tetap ingat, hidup ini bukan dongeng. Kita tidak punya Ibu Peri seperti Cinderella yang dapat merubah kita hanya dalam satu jentikan jari.
Jadi, berapa hargamu dan berapa harga yang pantas untuk pasanganmu?
Untuk cinta, apa yang tidak akan kita lakukan - selama itu memang cinta, dan bukan hanya ketertarikan yang sifatnya sementara? Tapi tetap ingat, hidup ini bukan dongeng. Kita tidak punya Ibu Peri seperti Cinderella yang dapat merubah kita hanya dalam satu jentikan jari.
Jadi, berapa hargamu dan berapa harga yang pantas untuk pasanganmu?
No comments:
Post a Comment